31 HARI

Penerbit Lautika Prio 2012

Sebuah cerita yang terinspirasi dari kisah nyata. Sebuah kisah perjuangan hidup dalam meraih masa depan yang dilandasi oleh ketaqwaan. Sebuah kisah dengan berbagai ujian hidup yang menyertai tanpa henti yang pada akhirnya berbuah pada begitu banyak hal ‘baik’ yang tak terduga.

Beberapa bagian akhir dari cerita ini terangkum dalam bentuk novel yang telah terbit. Untuk info dan pemesanan:

http://www.leutikaprio.com/produk/10041/novel/1211705/31_hari/12114716/mohammad_fachri  

Bagian 1 dari tulisan ini ada di bagian paling bawah.

 

Bagian ke 13: BERPISAH RUANG DAN WAKTU

Di hari Senin yang cerah di awal bulan Mei 1997 itu, Faisal dan Laksmi mengantarkan kedua orangtua Faisal ke Airport dengan menggunakan sebuah mobil sedan sewaan. Kedua orangtuanya akan kembali ke Indonesia melalui New York. Walaupun suasana sedikit tidak bersahabat, Laksmi berusaha untuk bersikap apa adanya dan menjaga dirinya untuk tidak banyak berbicara. Sepanjang perjalanan ke airport, Laksmi dan Rahma duduk di bagian belakang sedang Faisal menyetir mobil di dampingi Hasan yang duduk disampingnya.

Setelah melalui proses check in, Faisal dan Laksmi bersiap untuk berpamitan tapi secara tak terduga, Hasan angkat bicara:

“Tolong tunjukkan kepada Ayah dimana Bookstore! Ayah ingin membeli majalah!”

“Baik. Saya akan mengantarkan Ayah.” Jawab Faisal

Faisal memperhatikan ke layar monitor bahwa ‘boarding time’ masih sekitar 45 menit lagi. Ia meminta Laksmi menemani Ibunya untuk beberapa saat. Laksmi menggangguk sembari tersenyum kepadanya.

Mereka berjalan ke arah koridor selatan dimana terdapat banyak toko berbagai keperluan berdampingan dengan rapi. Mulai dari toko souvenir hingga café kecil dipenuhi oleh pengunjung yang sebagian besar adalah penumpang pesawat. Faisal berjalan sedikit di depan dan berusaha menemukan apa yang diinginkan oleh Ayahnya. Tak berapa lama kemudian ia berseru,

“ Itu ada Crown Bookstore.”

Hasan menjawab, “Cukup sampai disini dulu…Ayah ingin bicara denganmu sesuatu yang penting”

Langkah Faisal terhenti hanya beberapa meter dari toko buku itu. Ia menghadapkan tubuhnya ke arah Ayahnya.

“Kita bicara disini saja” Ungkap Hasan dengan nada sedikit tinggi.

Faisal hanya terdiam dan berusaha untuk tidak menolak kemauan Ayahnya. Ia hanya memandang dengan muka yang penuh tanda tanya.

“Dahulu Ayah dan Hariyanto, Ayah temanmu itu sama-sama kuliah di UGM. Kami berteman baik.” Ungkap Hasan dengan ketus seolah tidak ingin berbasa basi.

Wajah Faisal sedikit tegang mendengar ungkapan Ayahnya. Ia tidak menyangka pernyataan itu keluar dari lisan Ayahnya tapi ia berharap semoga ini adalah pertanda restu Ayahnya terhadap hubungan antara dirinya dengan Laksmi. Ia tidak pernah mendengar hal ini sebelumnya. Belum sempat Faisal berpikir lebih jauh, Ayahnya kembali berkata,

“Sayang sekali…Ayahnya menghianati persahabatan yang telah kami bangun dari awal masa kuliah. Ia bertindak tidak senonoh. Sampai hari ini Ayah tidak bisa menerima perlakuannya yang sangat merendahkan harga diri Ayah.”

Faisal hanya diam terpaku. Ia tidak berkata apapun. Ia melihat bahasa tubuh Ayahnya yang berbeda dari biasanya karena marah. Wajahnya mulai memerah. Faisal hanya bisa menanti sambil menundukkan kepalanya.

“Apakah hubunganmu dengan perempuan itu serius?” Tanyanya.

Faisal menganggukkan kepalanya.

Hasan berusaha mendekat dan mengangkat telunjuknya ke arah wajah Faisal dengan muka penuh kegeraman.

“Supaya kau tahu, Ayah tidak akan sudi merestui. Sampai kapanpun. Jangan pernah berpikir untuk menikahinya….Langkahi dulu mayat Ayah jika kau ingin melakukannya!”  Suara Hasan menggelegar menyebabkan orang-orang di sekeliling mereka yang lewat menoleh sebentar memperhatikan apa yang terjadi. Hasan seolah tidak peduli dengan semuanya itu. Ia kemudian berbalik arah menjauhi Faisal dan berkata, “Sekarang Ayah ingin ke toko buku itu.”

Faisal masih tak beranjak dari tempatnya berdiri. Ia seolah tidak percaya apa yang baru didengarnya. Bagai sebuah pukulan telak ia terima. Kata-kata Ayahnya begitu menampakkan kebencian yang amat dalam. Dendam yang masih tersimpan jauh di dalam hati. Walaupun demikian Faisal berusaha untuk menguasai dirinya. Untunglah lokasi tempat mereka berada amat jauh jaraknya dari tempat dimana Laksmi dan Ibunya menunggu sehingga mereka tidak melihat kejadian yang baru saja terjadi. Ia berusaha mengikuti langkah Ayahnya memasuki toko buku itu tanpa bisa berkata apapun lagi.

Begitulah cara mereka berkomunikasi selama ini. Jarang sekali Ayahnya bisa bertutur dalam kelemah lembutan dengan putera semata wayangnya itu. Kata-katanya selalu bagaikan fatwa yang lebih sering merupakan pil pahit yang harus ditelan tanpa bisa disanggah sedikitpun. Tidak ada diskusi, tidak ada pembelaan diri. Kebenaran itu hanya dalam genggaman Ayahnya dan keadilan itu hanya dalam ilusi pikiran sang ayah sendiri. Bertahun-tahun Faisal telah terbiasa dengan keadaan yang memilukan ini. Ia tak dapat membela diri sedikitpun. Ia tak pernah mendapat perlakuan layaknya seorang yang telah dewasa dengan jalan pikirannya sendiri.

Selama di toko buku itu, Faisal hanya dapat diam. Diantara buku-buku yang ditelusuri, Ia berusaha mengingat kembali kata-kata Ayahnya yang baru saja disampaikan. Ia bergumam dalam hatinya, “Ternyata Ayah dan Bapak Laksmi berteman! Kenapa Laksmi tidak pernah bercerita tentang hal ini? Apakah Laksmi tidak tahu? Ketika Bapak berkunjung ke rumah sakit beberapa minggu berselang, bukankah Bapak bertemu dengan Ayah? Apa yang terjadi? Kenapa Bunda tidak menceritakannya? Atau Laksmi? Kenapa Ayah begitu benci kepada Bapak? Ada apa diantara mereka?” Faisal berusaha mengingat kembali tentang apa yang pernah diceritakan Laksmi kepadanya……Ia terus berpikir dan berpikir keras…..mengingat seluruh rangkaian kejadian yang pernah dilewati.

Ia tersentak…….Jantungnya berdegup keras. Tiba-tiba ia teringat akan apa yang pernah diceritakan oleh Laksmi ketika mereka pertama kali mengungkapkan perasaan mereka di Arlington Memorial Bridge…beberapa bulan berselang…..Ia ingat peristiwa itu. Ketika Laksmi dan teman prianya berencana menikah dan lari ke Purwokerto. Ketika itu cerita mengenai masa lalu sang Bapak terungkap jelas. Dan ternyata laki-laki yang juga mencintai Ibu Laksmi itu adalah……AYAH FAISAL SENDIRI.

“Astaghfirullah”….Ia bergumam dalam hati dan mengulangnya berkali-kali.

“Ternyata Allah Maha Berkuasa mempertemukan kami, keturunan mereka, dalam sebuah kisah yang merupakan lanjutan dari kisah mereka” Begitu Faisal bergumam dalam hati kecilnya.

Terbayang olehnya wajah sang Ibu. “Apa hal ini tidak akan menyakitkan bagi Bunda jika ia mengetahuinya?” Pertanyaan ini bergema dibenaknya.

“Kenapa Laksmi tidak bercerita kepadanya? Kenapa Laksmi masih merahasiakannya?”

Ia tak ingin berandai-andai. Dalam hati kecilnya, Faisal hanya menemukan satu alasan. Kondisinya yang belum pulih benar sehingga Laksmi urung untuk menyampaikan hal ini kepadanya. Terlebih ayah dan ibunya masih bersamanya disini. Dari keterbukaan yang ada diantara mereka selama ini, ia yakin Laksmi pasti akan menyampaikannya suatu saat kelak. Ia akan berusaha bersabar hingga satu saat nanti Laksmi bercerita kepadanya.

ooOOOoo

Rahma memeluk Faisal sembari berkata dengan perlahan kepadanya, “Jaga dirimu baik-baik ya nak. Fokus pada kuliahmu agar dapat selesai dan jangan sakit-sakit lagi.”

Faisal menganggukkan kepalanya sembari memeluk Ibunya dengan pelukan yang amat erat. Ia ingin menumpahkan segala perasaannya saat itu kepada Ibunya tapi hal itu tidak mungkin ia lakukan. Rahma mencium kening putera nya itu untuk kemudian beralih memeluk Laksmi dan berkata, “Ingatkan Faisal agar tetap menjaga kesehatannya dan jaga dirimu baik-baik ya Laksmi.

Laksmi mengangguk sembari berkata, “Terima kasih atas segalanya Bu. Semoga Allah membalas segala kebaikan Ibu.”

Faisal meraih tangan Ayahnya untuk bersalaman, ia mencium tangan Ayahnya tersebut untuk kemudian berusaha memeluk. Tubuh sang Ayah mendadak kaku tanda ketidaksukaannya terhadap apa yang dilakukan oleh Faisal. Ia hanya diam terpaku tanpa menggerakkan anggota tubuhnya sedikitpun. Tidak ada kata perpisahan sedikitpun keluar dari lisannya. Justru Faisal yang berkata kepadanya:

“Selamat jalan Ayah, Semoga semuanya lancar.”

Ayahnya hanya diam dan sedikit menganggukkan kepalanya. Tanpa senyuman. Tanpa kata penutup. Bagi Hasan jika ia tidak suka terhadap apapun yang dibuat oleh anak lelakinya itu, ia akan menunjukkan sikap penolakan tanpa ada basa-basi sedikitpun.

Laksmi mendekat kepada Hasan dan dengan sedikit ragu mengarahkan tangannya untuk bersalaman. Tangan kanan Hasan hanya menyentuh ujung jari tangan Laksmi untuk kemudian menariknya secepat yang ia bisa. Laksmi terkejut dengan reaksi Hasan. Laksmi melihat ke arah wajahnya, tapi ia menemukan sorotan mata Hasan tertuju ke arah lain, bukan ke arahnya. Ia masih sempat berucap selamat jalan kepada orang yang dihormatinya itu tapi tiada jawaban yang ia dapatkan.

Dalam perjalanan pulang Laksmi dan Faisal sama-sama larut dalam pikiran mereka masing-masing. Mereka saling menjaga untuk tidak banyak berucap. Laksmi bertanya dalam hatinya,

“Kenapa aku harus turut disalahkan? Bukankah persoalan yang terjadi adalah antara Bapak dengan Dia? Aku belum lahir ketika itu. Kenapa aku harus ikut menanggungnya? Salahkah aku mencintainya puteranya? Apakah harus ada dosa turunan?”

“Kok melamun?” Tanya Faisal sembari melihat ke arah Laksmi.

“Ngga apa-apa, Mas. Aku hanya kaget melihat sikap Ayah mas Faisal tadi. Bermacam pertanyaan muncul dibenakku…Tapi syukurlah, Mas Faisal selama ini telah bercerita bagaimana sebenarnya keadaannya. Aku hanya belum terbiasa menghadapinya.”

“Maafkan Ayahku Laksmi….Ia memang seperti itu. Aku hanya berharap kamu mengerti akan hal ini.” Jawab Faisal tanpa ingin memperpanjang dialog mengenai sang Ayah. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan ke hal lain.

ooOOOoo

Sejak peristiwa itu, Laksmi dan Faisal berusaha untuk menjaga perasaan mereka satu sama lain. Tidak ada satupun diantara mereka ingin membuka masalah ini ke permukaan. Mereka bagai saling menunggu salah satu diantara mereka untuk menyampaikannya telebih dahulu sementara waktu kepulangan Laksmi ke Indonesia semakin mendekat. Hanya tinggal berujung beberapa hari lagi.

Dimalam kepulangan Laksmi, mereka berdua menghadiri acara perpisahan yang diadakan oleh VOA. Acara ini digelar di hotel Best Western di Georgetown. Selepas acara, Faisal mengajak Laksmi untuk menyusuri pertokoan sebelum mampir sebentar di Barnes & Noble, toko buku yang telah menjadi tempat favorit mereka.

“Laksmi…..Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan kepadamu.” Faisal membuka pembicaraannya.

Laksmi menganggukkan kepalanya dan tersenyum.

“Mungkin dugaanku salah tapi hal ini lebih baik aku tanyakan kepadamu…..Apa memang benar Ayah dan Bapak itu berteman sewaktu kuliah?” Tanya Faisal dengan suara yang sedikit tertahan.

Jantung Laksmi berdegup keras mendengarnya. Wajahnya sedikit menunjukkan kepanikan. Ia tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya untuk kemudian memandang ke arah Faisal sembari menghentikan langkahnya.

“Ma…Mas Faisal mengetahuinya dari siapa?” Tanya Laksmi gugup.

“Aku hanya menduganya…..Apakah Bapak pernah bercerita kepada kamu tentang hal ini?” Tanya Faisal lagi.

“Ia bercerita kepadaku bahwa mereka memang teman lama.” Jawab Laksmi polos.

Suaranya terdengar pelan saat menyampaikannya. Ia menggigit ujung bibirnya beberapa saat untuk kemudian berusaha kembali tersenyum menyembunyikan kegundahan yang ada dihatinya.

Faisal balik memandang ke arah Laksmi dan memperhatikan dengan seksama bahasa tubuh Laksmi. Ia melihat tanda-tanda ketidaknyamanan yang menimbulkan sedikit kecurigaan dihatinya tapi ia berusaha untuk tidak berandai-andai dengan semuanya.

Ketika mereka memasuki toko buku tersebut, Faisal berkata: “Kita duduk di café nya dulu ya…”

Laksmi menganggukkan kepalanya. Mereka menaiki escalator menuju lantai dua dimana café itu berada.  Laksmi memilih duduk di sebuah meja kecil dengan dua kursi yang berada di sudut belakang café. Ia seolah ingin menghindar dari keramaian sementara Faisal bergegas ke counter memesan secangkir mint tea untuknya dan coffee latte dengan aroma caramel untuk Laksmi.

Laksmi duduk bertumpu pada telapak tangan yang menopang dagunya. Walau tampak cantik, wajahnya menyiratkan kesedihan.

“Apa yang Bapak ceritakan, Laksmi? Kenapa kamu tidak menyampaikannya kepadaku?” Tanya Faisal.

“Aku berencana menyampaikan hal ini, tapi belum ada waktu yang pas untuk kita, Mas.” Jawab Laksmi. Terlihat wajahnya sedikit memucat.

“Apa ada masalah, Laksmi?” Tanya Faisal lagi.

Laksmi menggelengkan kepalanya dan berkata, “Bapak hanya menyampaikan bahwa mereka teman yang lama tidak bertemu. Ada peristiwa yang mengharukan ketika mereka bertemu saat menjenguk mas Faisal di rumah sakit.”

“Memangnya kenapa?” Tanya Faisal.

“Keduanya tidak menyangka mereka akan bertemu setelah sekian lama….Lebih dari 20 tahun…..”  Jawab Laksmi tanpa merinci lebih lanjut walau tetap memaksakan dirinya untuk tersenyum. Ia berusaha menutupi perasaannya tapi secepat itu pula rasa bersalah kembali hadir dalam dirinya. Ia berusaha memalingkan pandangannya dari Faisal.

“Bisakah kamu ceritakan keadaannya saat mereka bertemu?” Tanya Faisal lagi.

Laksmi menghela nafasnya dalam-dalam. Sosok Rahma, Ibu Faisal, secara tiba-tiba hadir berdiri tepat di depannya seolah ingin mengingatkan akan janji yang pernah ia ucapkan. Laksmi memohon dalam hatinya dalam rintihan suara yang lirih,

“Ya Allah beri aku kekuataan. Tidak ada maksudku untuk berkata tidak jujur. Aku tidak ingin menyakitinya dan tidak ingin mengingkari janji yang pernah aku ucapkan di depan ibunya.”

Faisal terlihat sabar menanti apa yang akan diucapkan oleh Laksmi. Sementara Laksmi masih bergulat untuk menguasai keadaan. Ia berusaha untuk menjadi seorang wanita yang tegar, sebuah pelajaran yang telah ia dapatkan dari Rahma.

“Tidak ada yang istimewa, Mas. Bapak sangat kaget ketika mengenali wajah Ayah. Banyak perubahan telah terjadi pada diri masing-masing. Mereka bersalaman. Hanya sebentar saja.” Jawab Laksmi sembari kembali menggigit ujung bibirnya.

Muncul keinginan di diri Faisal untuk bertanya lebih jauh, tapi hal ini tidak ia lakukan. Ia cukup puas dengan apa yang telah Laksmi sampaikan kepadanya. Walau seribu satu pertanyaan kini muncul di benak Faisal. “Apa benar memang demikian? Kenapa Bapak tidak bercerita kepada Laksmi? Apakah hal ini karena ia tidak ingin menyakiti perasaan puterinya itu? Atau apakah Laksmi berusaha menyembunyikannya? Apakah itu mungkin? Laksmi berbohong?”

Waktu yang begitu cepat berlalu memaksa mereka berbicara akan hal lain. Hanya sedikit waktu yang tersisa dari titik momen perpisahan mereka. Faisal menghadiahkan kepada Laksmi sebuah buku kumpulan puisi karya Walt Whitman yang berjudul ‘Leaves Of Grass’. Ia menulis sebuah kalimat pendek pada lembar terdepan buku itu.

Untuk seseorang yang dikasihi,

Sebuah bait puisi akan dapat menghidupkan hati yang suram dan menguatkan jiwa yg gundah.

 Love,

Faisal

ooOOOoo

13 May 1997. Suasana Union Station di pagi itu begitu sendu. Cuaca yang mendung ikut menyumbang kegalauan diantara dua anak manusia yang akan berpisah tempat. Faisal berusaha tersenyum memandang ke arah Laksmi. Ia merasakan bahwa perpisahan ini begitu berat bagi dirinya. Ia akan selalu terbayang tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi dan hari-hari yang indah dijalani bersama Laksmi. Tak akan ada hari-hari ceria yang mengiringinya lagi. Ia terpaksa harus menambah satu semester masa kuliahnya akibat sakit yang dideritanya. Ia harus banyak beristirahat dan melakukan fisiotherapy tiga kali dalam seminggu di rumah sakit untuk memulihkan kondisinya. Walaupun demikian ia tetap bekerja dalam tim kecilnya menyelesaikan proyek yang telah ia mulai dan akan berakhir pada bulan September nanti.

Demikian juga Laksmi. Kepedihan itu tergambar jelas di raut wajahnya. Ia harus memulai kembali hari-hari sibuknya yang sarat dengan kegiatan kantor di Jakarta tanpa Faisal yang selalu memberinya dorongan dan pemahaman akan keimanan yang diyakini. Ketaqwaan yang selama ini ia rindukan untuk hadir mengisi relung-relung jiwanya yang kosong. Faisal selalu mengingatkan arti pentingnya nilai ibadah baginya dalam bahasa yang amat mudah dimengerti dan bersahaja.

Kereta Metroliner yang akan membawa Laksmi, Tara dan Hani ke New York telah siap untuk berangkat.

“All Aboard….” Sang kondektur berseru di samping kereta tanda sebuah panggilan terakhir untuk naik. Panggilan yang merupakan tradisi yang tidak pernah pudar selama lebih dari 100 tahun perkeretaapian di Amerika. Faisal tersenyum ke arah Laksmi dan berkata:

“Jaga diri kamu baik-baik Laksmi dan jangan pernah tinggalkan shalat ya!”

Laksmi menganggukkan kepalanya. Kali ini ia tak dapat menahan tangisnya lagi. Air mata meluncur deras membasahi wajahnya yang tampak memerah. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Bibirnya bergetar ingin mengucapkan sebuah kalimat perpisahan tapi ia tak mampu.

“Serahkan semua kepada Ar Rahman. Dia Maha Berkehendak…..Kesedihan hanya bisa membuat kita lemah…” Kata Faisal.

“Jaga dirimu baik-baik, Mas.” Jawab Laksmi sebagai penutup perpisahan mereka.

Selepas mengantar kepulangan Laksmi, Faisal kembali ke apartement-nya mempersiapkan peralatan camping yang telah lama ia abaikan. Ia memutuskan pergi ke Shenandoah National Park di Virginia untuk berkemah sendiri selama dua malam guna mengusir kesedihannya. Bukan pertama kali baginya untuk camping sendiri seperti ini. Ia telah melakukannya beberapa kali. Ia menikmati interaksinya dengan alam sebagai ciptaan Allah Yang Maha Sempurna sembari melakukan kontemplasi dan menuangkannya dalam jurnal harian yang penuh dengan puisi ungkapan jiwa. Kesendirian membuatnya lebih dapat memahami banyak hal dalam dirinya maupun di luar dirinya. Ia mengasah kepekaannya dengan duduk berlama-lama memandang ke arah pegunungan ‘Blue Ridge Mountain’ yang mempesona sembari melakukan shalat di alam terbuka yang membuat jiwanya merasakan begitu kecilnya dirinya dihadapan Sang Pencipta.

Ketika malam tiba, ia membuat api unggun kecil dan duduk di dekatnya untuk menghangatkan tubuh. Tak lama kemudian ia mulai menggoreskan penanya untuk menulis. Ia tak ingin membatasi apapun yang ada dipikirannya dan membiarkan jari-jarinya bekerja menuliskan beberapa bait puisi yang kali ini banyak bercerita betapa ia mensyukuri nikmat yang telah ia dapatkan dalam kehidupannya. Ia dapat sembuh dari penyakit yang hampir saja membuatnya lumpuh tak berdaya. Tapi disamping itu saat ini ia merasakan suatu kepiluan….berpisah ruang dan waktu dengan seseorang yang telah memberinya harapan kehidupan. Laksmi yang begitu lembut dan penuh perhatian. Ia sadar akan rintangan yang kini terhampar dihadapan mereka. Mampukah ia menaklukkan hati Ayahnya yang begitu keras? Hati yang dirasuki oleh dendam yang telah lama tersimpan dan mustahil untuk lenyap begitu saja.

ooOOOoo

Di sebuah kamar hotel di New York siang itu, Laksmi hanya memandang keluar jendela melihat suasana orang-orang hilir mudik berjalan kaki. Suasana musim panas yang begitu ceria tidak mampu menggodanya untuk keluar dan menikmati keadaan. Ia menampik tawaran Tara dan Hani untuk menyusuri pertokoan dan ‘shopping’ untuk yang terakhir kalinya. Mereka bertiga harus bermalam di New York sebelum bertolak ke Jakarta dengan penerbangan Singapore Airlines keesokan harinya.

Laksmi masih larut dirundung kesedihan. Ia telah berpisah dengan Faisal. Satu hal yang menganggu pikirannya kini adalah kelangsungan hubungan mereka. Di satu sisi, ia amat mencintai Faisal dan ingin membina hubungan yang lebih jauh dengannya. Tapi disisi yang lain, hambatan itu datang dan tak terbantahkan. Ia harus memilih diantara dua keadaan yang sulit. Haruskah ia mengorbankan cintanya pada Faisal untuk menjaga perasaan sang Bapak dan Ayah Faisal? Atau haruskah ia terus berjalan dan tidak memperdulikan semuanya ini? Ia tak ingin mengecewakan orang-orang yang ia sayangi. Ia tidak ingin mengecewakan Bapaknya walaupun ia sadar apapun yang menjadi pilihannya hampir pasti sang Bapak akan mendukungnya. Mampukah ia menghadapi Ayah Faisal? Bukankah sesuatu yang dipaksakan akan berakibat buruk bagi dirinya dan bagi Faisal sendiri? Ia tak ingin hal itu terjadi. Ia ingat kata-kata Rahma kepadanya. “Ibu tak ingin Faisal membenci Ayahnya, nak.”

Ia menghela nafasnya sembari terus memandang ke arah luar jendela. Ia tak sanggup memikirkan semuanya saat ini. Ia tak mampu. Satu hal yang terpenting dari semua ini adalah ia tidak ingin kehilangan Faisal yang begitu banyak telah merubah dirinya. Mampukah ia bertahan?

(Kisah selanjutnya dapat dibaca di novel yang telah terbit dengan judul 31 HARI. Terima kasih atas segala masukan dan apresiasinya selama ini.)

 

 

 

Bagian ke 11: SEBUAH REUNI KECIL

Tanggal 8 April 1997 adalah hari ulang tahun yang berbeda bagi Laksmi. Waktu menunjukkan pukul 7.30 ketika ia bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Seseorang yang bertugas di ‘front desk’ menghubunginya dari lantai bawah memberitahukan bahwa ada sebuah paket yang dikirim untuknya. Ia bergegas untuk turun dan mengambilnya. Sebuah ‘mix hand bouquet’ yang indah. Ia membaca tulisan tangan Faisal di kartu ucapan dan menangis tersedu. Sebuah hadiah yang teramat berharga baginya. Ia kembali ke apartemennya dan memandangi ‘bouquet’ itu untuk beberapa saat. Suara hatinya berkata,

“Apakah kelak mas Faisal akan bisa menciptakan puisi-puisi yang indah kembali? Atau sekedar menggoreskan cat minyak pada kanvas untuk melukiskan sesuatu? Ia teringat masa-masa indah yang telah ia jalani bersama Faisal. Pandangannya beralih ke lukisan jembatan yang tergantung di dinding apartemen nya. Sebuah karya Faisal yang baru diterimanya beberapa minggu yang lalu. Ia kembali menangis. Berat beban yang ia rasakan dan sulit rasanya untuk berbagi dengan siapapun saat ini, tak terkecuali dengan sang Bapak yang hanya berjarak puluhan kilometer darinya.

Suara dering telepon genggamnya membuyarkan seluruh lamunannya. Sang Bapak menghubungi untuk mengucapkan selamat ulang tahun sembari mengabarkan ia tidak dapat meninggalkan seminar yang berlangsung hari ini.

“Bapak akan ke sana hari Kamis nanti, Laksmi.”

Baru kali ini dalam usianya yang ke-26 mereka tidak dapat berkumpul bersama untuk merayakan hari ulang tahunnya. Ada perasaan kecewa yang dirasakannya tapi ia berusaha untuk menerimanya dengan ikhlas.

“Tidak apa-apa, Pak. Seharusnya aku dan mas Faisal yang kesana.” Jawabnya.

Sepanjang hari Laksmi berada di rumah sakit. Ia meminta izin untuk tidak mengikuti kegiatan internshipnya. Menjelang siang, Tara dan Hani mengunjunginya. Begitu juga dengan Iswadi, seorang staf Nusantara Commodities yang datang dari New York. Beberapa teman kuliah dan anggota tim kerja dari kantor biro konsultan tempat Faisal bekerja juga datang. Demikian juga beberapa anggota ‘Muslim Student Association’ yang mendapat khabar tentang keadaan Faisal. Laksmi berusaha menerima mereka dengan senyuman walaupun wajahnya menyiratkan keletihan yang amat sangat. Anne Warren dari toko bunga Virginia Florist menyempatkan diri untuk datang disore hari menjelang matahari terbenam. Anne membawakan bagi Laksmi sekotak cokelat dengan hiasan bunga mawar kecil diatasnya. Ia mengucapkan selamat ulang tahun kepada Laksmi.

Tidak banyak yang dapat dilakukan Laksmi selain menanti di koridor tempat dimana ruang tunggu itu berada. Ia berharap ada sebuah keajaiban hari ini. Tapi sepertinya hal itu tidak terjadi. Selain menerima tamu yang ia kenal, Ia menghabiskan waktunya dengan membaca novel. Terkadang ia tertidur sebentar karena keletihan yang mendera. Lisannya terus melantunkan dzikir dan doa. Hampir setengah jam sekali ia masuk ke ruang ICU untuk melihat Faisal. Belum ada perubahan sama sekali dengan kondisi Faisal sepanjang hari itu. Ia belum sadarkan diri.

Selepas Maghrib, Laksmi mengajak Aysha untuk bersantap malam di Cafetaria dimana malam sebelumnya mereka terlibat pembicaraan tentang Faisal. Ia menyampaikan kepada Aysha bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya. Aysha mengucapkan selamat kepadanya dan memeluknya. Perlahan hubungan mereka mulai mencair. Laksmi banyak bercerita tentang kota Yogyakarta dimana ia menghabiskan sebahagian besar dari umurnya untuk menetap. Sedang Aysha banyak bercerita tentang Ayah dan Ibunya yang berbeda kebangsaan dan menikah secara Islam.

ooOOOoo

Hari ini adalah hari ketiga Faisal berada di rumah sakit dan waktu 48 jam masa kritisnya telah berlalu. Belum ada tanda-tanda keadaan Faisal membaik. Ia masih berjuang melewati masa kritis itu dan tim dokter masih terus mengupayakan dengan segala kemampuan untuk merubah keadaannya.

Sebuah ketukan pintu membuat Laksmi menghentikan doa yang ia lantunkan setelah shalat Maghrib di hari Rabu malam itu. Aysha masuk ke gudang kecil perlengkapan itu untuk memberitahunya tentang keadaan Faisal.

“Ia telah dapat menerima respons saat ini walaupun keadaannya masih sangat lemah.” Kata Aysha.

Laksmi kembali bersujud mengucapkan syukur untuk kemudian segera berlari menuju ruang ICU diikuti oleh Aysha.

“Faisal…Faisal” Panggil Laksmi.

Faisal menggerakkan kepalanya dan berusaha mengangkat tangannya walau terlihat berat sekali. Matanya terlihat sedikit bergerak walau belum dapat dibuka. Laksmi dan Aysha tersenyum melihat keadaan ini.

“Ini adalah permulaan yang baik baginya. Mudah-mudahan semuanya akan lebih baik sehingga ia dapat melewatinya dan sembuh seperti sedia kala.” Jelas Dr Louis kepada Laksmi. Saat itu Aysha sudah tidak bertugas lagi sebagai dokter jaga.

Laksmi bersyukur atas apa yang ia alami malam itu. Ia berharap keadaan akan jauh lebih baik bagi Faisal di hari-hari mendatang. Terlebih ia mendengar langsung dari Tara dan Iswadi bahwa orang tua Faisal akan sampai pada hari Kamis esok. Mereka sedang dalam perjalanan ke New York dan Iswandi yang akan mengantarkan mereka langsung ke Wasington DC.

 ooOOOoo

Keadaan Faisal berangsur-angsur membaik pada hari Kamis. Kini selang oksigen tidak lagi menghiasi mulut dan hidungnya tapi selang infus dan kabel-kabel monitor masih terpasang di bagian tangan dan dadanya. Ia telah dapat membuka matanya dan mengenali orang-orang yang ada disekitarnya. Ketika ia melihat Laksmi dan Aysha berada di dekatnya pagi itu, air mata nya tampak meleleh membasahi wajahnya. Laksmi menyekanya dengan saputangan kecil miliknya. Faisal menggerakkan tangannya dengan sangat perlahan berusaha mencapai pegangan pada pinggiran tempat tidurnya. Menyadari hal itu, Laksmi menggenggam tangan Faisal dengan erat. Ia membisikkan sesuatu di telinga Faisal.

“Cepat sembuh ya..Allah akan selalu menolong hamba-Nya yang baik”

Faisal mengangguk. Kini pandangan Faisal beralih ke Dr. Aysha yang sedang bertugas mencatat keadaannya pada buku log pasien. Ia mengganggukkan kepalanya sedikit dan Aysha membalasnya dengan senyuman.

ooOOOoo

Kamis siang itu adalah hari pertama Laksmi bertemu dengan kedua orangtua Faisal. Ada kesan dingin yang ditunjukkan oleh Ayah Faisal kepadanya. Kesan sebaliknya ditunjukkan oleh sikap sang Ibu yang sangat menerimanya. Ia memeluk Laksmi dengan hangat dan berkata,

“Faisal banyak bercerita tentang kamu, nak. Kita semua harus sabar menghadapi ujian Allah ini.”

Laksmi tersenyum sembari mengusap air mata nya. Pelukan itu begitu menguatkannya. Ia merasakan betapa pelukan seorang Ibu dapat menentramkan hatinya. Betahun-tahun ia tidak pernah merasakannya. Ada sesuatu dalam diri Ibu Faisal yang ia sukai. Kata-katanya begitu menentramkan dan raut wajahnya yang bersih selalu meneduhkan. Ia kini dapat mengerti, Faisal memiliki kharisma yang menurun dari sang Ibu.

Laksmi mengenalkan Dr. Aysha kepadanya. Ibu Faisal langsung memeluknya dan berterima kasih kepadanya atas pertolongan yang telah ia berikan kepada Faisal. Aysha membalas pelukan itu dengan hangat.

“Anda memiliki seorang putera yang sangat baik. Semoga Allah menyembuhkannya.” Kata Aysha.

Sang Ibu meminta Laksmi menerjemahkan jawaban yang akan disampaikannya kepada Aysha. Ia tidak dapat berbicara dengan bahasa Inggris yang baik.

“Allah telah mempertemukan kita bertiga hari ini di depan orang yang kita sayangi. Maafkan Faisal jika ia telah menyinggung perasaan salah satu diantara kalian diwaktu yang lalu.”

Laksmi tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. Ia menyampaikan pesan tersebut dalam bahasa Inggris. Aysha tersenyum mendengarnya sembari berdiri disamping sang Ibu.

“Faisal tidak pernah melakukannya….Ia sangat menghargai anda.” Jawab Aysha.

Laksmi kembali menerjemahkan kalimat yang disampaikan Aysha. Mereka bertiga berpelukan dan hal ini mengundang pandangan mata dari seluruh orang yang hadir diruang tunggu itu. Sebuah pemandangan yang tidak biasa.

ooOOOoo

Waktu menunjukkan pukul 19.25 di malam hari ketika Laksmi dan Bapak nya memasuki ruang tunggu ICU . Laksmi baru saja menjemputnya di Union Station. Sang Bapak menumpang kereta dari Baltimore selepas mengikuti seminar di hari Kamis sore itu.

Laksmi merangkul tangan Bapak nya. Mereka berdua berjalan mendekat ke arah dimana kedua orangtua Faisal dan Iswadi sedang duduk. Ayah Faisal sedang terlibat pembicaraan serius dengan Iswadi sedang Ibunya sedang membaca sebuah buku.

“Assalamualaikum, Ibu…Kenalkan ini Bapak saya” Sapa Laksmi

“Walaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh…Kenalkan saya Rahma, Ibu dari Faisal.” Jawab Ibu Faisal sembari tersenyum.

“Saya Hariyanto.” Jawabnya. Mereka saling mengenalkan nama masing-masing dan berjabat tangan. Saat itu juga Ibu Faisal berusaha memanggil suaminya yang duduk tak jauh darinya.

Hariyanto memandang ke arah Ayah Faisal dengan pandangan yang tajam. Ia bagai tak percaya siapa yang dilihatnya. Seorang sahabat lama yang telah berpuluh tahun tidak bertemu.

“Ha…san……Apakah anda benar Hasan?” Tanya Hariyanto seolah tidak percaya. Raut wajahnya berubah menampakkan keceriaan dan matanya berbinar-binar. Ia berusaha secepat mungkin mendekat kearah Ayah Faisal dan berniat untuk memeluknya. Tapi sikap Ayah Faisal yang tetap dingin membuatnya menghentikan langkahnya.

Ayah Faisal hanya diam dan memandang kepada Hariyanto dengan wajah memerah bagai daun terbakar sinar matahari. Ia tundukkan pandangannya dan tidak menjawab sama sekali. Terlihat bahasa tubuhnya yang gugup dan menampakkan kegelisahan yang amat sangat. Secepat itu pula keringatnya membasahi dahinya yang lebar. Ia hanya diam tak berkata sepatah katapun. Ia paksakan untuk mendekat dan menyambut uluran tangan Hariyanto dengan sunggingan senyum yang jauh dari ketulusan.

“Mohon maaf saya harus ke toilet” Hanya itu jawabannya sembari berlalu dari ruang tunggu itu.

Laksmi tercengang melihat kejadian ini. Ia merasa ada sesuatu tidak beres dengan pertemuan ini. Sesuatu yang ia tidak tahu penyebabnya. Ia hanya mencoba mengerti sikap ayah Faisal dari apa yang telah ia dengar selama ini. Sikap yang kurang bersahabat. Tapi kenapa hal ini terjadi saat perkenalannya dengan Bapak? Apakah mereka sudah saling mengenal sebelumnya? Ia terus memperhatikan tingkah laku Bapak nya yang berusaha sekuat tenaga untuk menguasai keadaan walaupun terlihat wajahnya mendadak pucat. Hariyanto berusaha untuk tetap tersenyum dan mengajak Laksmi duduk tidak jauh dari tempat dimana Rahma berada. Ia menghela nafasnya dan pikirannya seolah melayang ke masa lalu yang hanya dirinya sendiri yang mengerti.

Di saat yang sama, Rahma hanya terdiam. Ia menundukkan kepalanya seolah sangat mengerti dengan adegan yang baru saja berlalu. Ia berusaha tersenyum. Tidak ada rangkaian kata-kata sedikitpun keluar dari lisannya. Hanya terlihat bibirnya bergerak-gerak mengucapkan istighfar secara terus menerus.

“Ibu, Saya minta izin untuk melihat mas Faisal dengan Bapak ke ruang ICU” Pinta Laksmi.

“Silahkan, nak…Monggo Pak…” Jawab Rahma.

Laksmi menarik tangan Hariyanto menuju ruang ICU. Mereka menanggalkan alas kaki dan memakai baju khusus untuk memasukinya.

“Mas Faisal….Ini Bapak….” Kata Laksmi.

Faisal tersenyum dan mengangkat tangannya perlahan seolah ingin berjabatan. Hariyanto menyambutnya dengan tersenyum.

“Cepat sembuh ya….Mohon maaf Bapak baru dapat datang sekarang…” Kata Hariyanto.

Faisal kembali menganggukkan kepalanya tanpa sanggup berbicara apapun. Keadaannya masih terlalu lemah.

Ketika mereka berdua keluar dari ruangan ICU, Rahma menarik tangan Laksmi dengan lembut dan mengajaknya duduk disampingnya. Mereka bertiga duduk sejajar di ruang tunggu itu. Laksmi berada diantara Rahma dan Hariyanto. Iswadi memperhatikan dari belakang. Pada awalnya, ada suasana tegang meliputi mereka bertiga. Kejadian yang baru saja berlalu membuat suasana menjadi tidak nyaman. Ada apa dengan sikap Ayah Faisal?

Dengan ketegaran seorang wanita, Ibu Faisal berusaha untuk bersikap apa adanya dan berinisiatif untuk memulai pembicaraan. Kalimat-kalimatnya begitu memukau Laksmi. Ia dapat membuat suasana yang semula tegang menjadi cair dan hangat. Ia bertanya kepada Laksmi tentang kegiatan intership yang sedang ia jalani sembari terus-menerus menggenggam tangan Laksmi tanpa melepaskannya seolah-olah ingin menyampaikan keprihatinannya atas apa yang terjadi.

Tak terasa hampir setengah jam mereka telah meluangkan waktu bersama. Tiba-tiba, Iswadi menghampiri Rahma dan membisikkan sesuatu kepadanya. Ia mengangguk dan Iswadi kembali duduk di tempat semula dibelakang mereka.

“Suami saya kembali ke hotel dengan taxi….Ia masih jetlag, jadi perlu istirahat.” Rahma berkata sembari tersenyum seolah tidak ada hal buruk yang terjadi.

Wajah Laksmi sedikit memucat. Ia merasakan jelas-jelas ada sesuatu yang tidak beres dengan semuanya ini. Kenapa Ayah Faisal meninggalkan mereka? Dan kenapa Bapak tampak begitu gugup saat perkenalannya dengan ayah Faisal? Ia mengalihkan pandangannya ke arah sang Bapak dan melihatnya tersenyum.

Mereka kembali mengobrol sebelum akhirnya Hariyanto berpamitan. Ia meminta izin untuk mengajak Laksmi mengantarkannya bermalam di hotel yang tidak jauh dari apartement Laksmi. Ibu Faisal mengangguk sembari berkata,

“Saya juga akan kembali ke hotel diantar Iswadi. Boleh saya bicara dengan Laksmi sebentar?” Tanya Rahma.

“Boleh saja, Bu…Monggo” Jawab Hariyanto kepadanya.

Rahma menghampiri Laksmi dan berkata, “Laksmi…Ibu ingin mengucapkan terima kasih sudah menjaga Faisal selama beberapa hari ini. Ibu dengar kamu sudah beberapa hari absen dari kegiatan di VOA?”

Laksmi menganggukkan kepalanya.

“Masuklah besok, nak. Sepulang dari VOA kamu dapat kemari lagi. Biar Ibu yang menjaga Faisal dari pagi sampai sore.” Pinta Rahma sembari memeluk Laksmi dengan sangat erat. Tak lama kemudian, Rahma mencium kening Laksmi dan membisikkan sesuatu di telinganya dengan sangat perlahan agar tidak didengar oleh Hariyanto.

“Baik-baik ya Nak…..Jaga Bapak…dan maafkan Ayah Faisal….”

Laksmi kembali memeluk sang Ibu dan berkata, “Tidak apa-apa Bu. Saya sudah banyak mendengar tentang Ayah dari mas Faisal. Mudah-mudahan Allah memberi kesabaran kepada kita.”

ooOOOoo

Hariyanto mengajak puteri semata wayangnya itu untuk mampir di sebuah restaurant Thailand untuk bersantap malam. Ia banyak bercerita keadaan Yogya setelah kepergian Laksmi. Demikian juga halnya tentang kegiatan seminar yang sedang berlangsung. Ia sama sekali tidak menyinggung tentang peristiwa yang telah terjadi di rumah sakit itu sampai akhirnya Laksmi yang bertanya.

“Bapak kenal dengan Ayah Faisal sebelumnya?” Tanya Laksmi.

Hariyanto tidak langsung menjawabnya. Ia menghela nafasnya dan lama terdiam.

“Laksmi…Bapak sangat menghargai sikap Ibu Faisal tadi. Bapak dapat menyimpulkan ia seorang wanita yang tegar dan sangat menyayangi Faisal…” Jawab Hariyanto mencoba menghindar.

“Pak, maukah Bapak bercerita kepadaku?” Pinta Laksmi memelas.

Hariyanto tersenyum dan berkata, “Baiklah…Kamu harus mengetahuinya, Laksmi…. Bapak akan ceritakan kepadamu….Bapak berharap hal ini tidak akan membuatmu sedih.”

“Kamu mungkin masih ingat beberapa tahun yang lalu di Purwokerto ketika kamu pergi dari rumah bersama teman pria mu itu? Ketika itu Bapak bercerita kepadamu tentang seseorang yang pernah berharap akan Ibumu…Seseorang yang penah melamar Ibumu dan ia adalah sahabat Bapak?” Tanya Hariyanto.

Jantung Laksmi berdegup keras. Wajahnya mendadak berubah menjadi kekecewaan yang amat dalam. Ia seolah ingin menjerit mendengar pernyataan Bapak nya. Ia telah tahu jawabannya dan berharap hal itu tidak terjadi.

“Maafkan Bapak telah menyampaikannya. Kamu ingin tahu apa yang terjadi, bukan?”

Laksmi Menganggukkan kepalanya.

“Hasan Jauhari namanya. Kami dahulu pernah berteman baik dan akhirnya menjadi sahabat. Dia adalah Ayah dari Faisal. Dia-lah dahulu yang melamar Ibumu tapi ditolak. Ia patah hati dan melampiaskan kekesalannya kepada Bapak…Kami bertengkar hebat dan hampir saja saling menyakiti kalau tidak dilerai oleh seorang teman yang saat ini telah menjadi menteri di Kabinet pak Harto” Jawab Hariyanto.

Hariyanto melanjutkan, “Sejak saat itu, Bapak tidak pernah lagi bertemu dengannya atau mencari tahu tentangnya. Walaupun demikian Bapak mendengar bahwa jabatan terakhirnya adalah seorang direktur utama salah satu BUMN”

Kali ini Laksmi tak bisa menahan air mata nya. Nama yang disebut oleh Bapak nya adalah benar nama Ayahanda Faisal. Kini ia faham kenapa Ayah Faisal bersikap seperti itu. Kebencian dan dendam yang mungkin masih ada dalam hati tidak mudah terhapus begitu saja. Laksmi menundukkan kepalanya tanpa ingin berkata apapun lagi. Hariyanto mencoba menenangkan puteri semata wayangnya itu. Ia memegang kepala Laksmi dan mengelusnya dengan lembut.

“Kamu harus kuat, nduk…Pilihan itu ada pada dirimu….Dan apapun yang kamu tempuh Bapak akan mendukungmu.” Kata-kata bijak Hariyanto berusaha meyakinkan Laksmi.

“Jangan banyak membebani dirimu saat ini. Hal yang terpenting saat ini adalah kita ingin sama-sama melihat Faisal sembuh.” Lanjut Hariyanto.

Hariyanto mengajak Laksmi untuk melewati malam itu di hotel bersamanya. Ia tidak ingin melihat anak perempuannya itu larut dalam kesedihan. Laksmi meminta untuk mampir sebentar di apartement nya. Ia ingin menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkannya untuk menghadiri kegiatan internship nya esok hari setelah beberapa hari absen. Hariyanto dengan senang hati mengantarkannya. Ketika ia berada di apartment Laksmi, ia amat kagum melihat lukisan hasil karya Faisal. Ia mencermati lukisan itu dengan seksama dan berkali-kali memujinya. Tak lama mereka berada disana malam itu. Dalam perjalanan ke hotel dengan berjalan kaki, Laksmi bertanya.

“Apa pendapat Bapak tentang mas Faisal?”

“Bapak belum bisa memberi pendapat, Laksmi. Bapak belum pernah berbicara dengannya….Belum memahami jalan pikirannya…Tapi melihat prilaku Ibunya seperti itu dan mendengar apa yang kamu ceritakan kepada Bapak selama ini mengenai Faisal, Bapak yakin Faisal seorang laki-laki yang bertanggungjawab. Terlebih ia dekat dengan ibunya.” Jelas Hariyanto.

Melewati malam itu bagai sebuah beban yang amat berat bagi Laksmi. Ia lebih banyak diam. Ia sadar akan hambatan dan rintangan yang ada dihadapan. Ia telah banyak mendengar cerita tentang Ayah Faisal. Bagaimana sang Ayah selalu bertentangan dengan anak laki-lakinya itu. Dan kini sebuah persoalan baru kembali hadir menanti. Tak mudah untuk menghapus masa lalu seseorang. Terlebih seseorang yang dicintai. Ayah Faisal dan Bapak nya pernah sama-sama mencintai Ibunya, Pramesti Kusumawardhani. Sosok yang tidak pernah dikenal oleh Laksmi selain namanya dan kini nama itu terngiang kembali di benaknya. Lebih dari 30 tahun yang lalu nama itu menjadi tumpuan harapan antara Bapak nya dengan Ayah Faisal. Dan kini ia ada dalam pusaran masalah yang merupakan bagian dari masa lalu kedua orangtuanya. Mampukah ia menghadapinya? Apakah ia harus mundur? Saat ini? Atau nanti, ketika Faisal telah sembuh? Semua pertanyaan itu menari-nari dalam pikirannya. Di suatu sisi, ia begitu mencintai Faisal dan berharap dapat menjalani masa-masa indah di masa depan bersamanya. Disisi yang lain, ia amat menyadari keadaan Faisal yang selalu harus berkompromi dalam hidupnya antara keinginan Ayahnya, membahagiakan Ibunya dan keinginan dirinya sendiri. Apakah Faisal akan memilih dirinya atau ia akan dilupakan oleh Faisal?

Ia hanya bisa berharap saat ini, Allah Yang Maha Mendengar menyembuhkan Faisal dan tak putus-putusnya ia berdoa untuk itu. Ia telah berjanji untuk setia mendampingi Faisal dalam keadaan apapun. Ia telah yakin mendapatkan seseorang yang tepat bagi dirinya. Tapi kini keraguan itu mulai bersemai dihatinya. Benarkah keputusannya? Begitu kuatkah keyakinannya? Sanggupkah ia berkorban begitu besar untuk dirinya sendiri dan Bapak nya yang menjadi idolanya dan tumpuan kasih sayangnya selama ini?

Malam itu sekitar pukul 2.00 dini hari, Laksmi terbangun dan kembali melakukan shalat tahajud. Ia bersimpuh di sajadahnya dan larut dalam doa-doanya yang panjang. Hariyanto terbangun dan melihat pemandangan yang tidak biasa ini. Ia tidak ingin mengganggu putrinya itu dan berpura-pura untuk tidur kembali sembari mencermati dalam kegelapan lampu kamar hotel yang sengaja diredupkan.

Hariyanto bersyukur, kini ia melihat putrinya itu dapat mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta. Sedari tadi ia selalu mendengar Laksmi mengucapkan kata-kata seperti “insya Allah” dan “Alhamdulillah” dalam kalimat-kalimatnya. Ia juga merasakan bahwa Laksmi dapat bersikap lebih tenang ketika ia menyampaikan cerita mengenai ayah Faisal. Dan satu hal yang  membuatnya kagum adalah ketika Laksmi meminta waktu untuk mengerjakan shalat Isya sesampainya mereka di hotel tadi. Ia sangat bahagia melihat semua perubahan itu. Dan malam ini ia menemukan sebuah kejadian yang lebih membuatnya kagum. Diantara keletihan yang mendera dan ketegangan yang ada, Laksmi masih menyempatkan dirinya bangun jauh ditengah malam untuk melakukan shalat Tahajud. Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan olehnya akan terjadi pada diri Laksmi.

Hariyanto berkata pada dirinya sendiri, “Faisal telah dapat menjadikan Laksmi lebih baik, semoga semuanya ini akan tetap ada….”

 

 

 

Bagian ke 10: SUATU UJIAN KESABARAN

Ketika sesi kuliah itu dimulai, Faisal merasakan suhu tubuhnya kembali menghangat. Berbeda dengan malam sebelumnya, kali ini suhu tubuhnya terasa lebih panas. Ia berusaha bertahan hingga sesi kuliah berakhir pada pukul 9.30. Ia menuju gedung Institute of Crisis Management, dimana ia dan anggota timnya berkantor. Ia mengajukan izin untuk tidak bekerja hari ini dan berjanji akan mengirimkan fax surat keterangan sakit setelah bertemu dengan dokter. Ia menghubungi bagian rawat jalan GW University Hospital. Sebuah rumah sakit yang menjadi tumpuan bagi setiap mahasiswa GWU. Faisal berusaha untuk bertemu dokter pagi itu tapi ternyata ia baru mendapatkan giliran pada pukul 17.00.

Ia memutuskan untuk pulang ke studio apartmen nya untuk beristirahat. Suhu badannya semakin terasa bertambah saat ia berjalan pulang. Ia terus berjalan dengan perlahan hingga sebuah toko bunga mengingatkannya akan peristiwa beberapa minggu berselang ketika ia mengalami kram pada rahangnya. Mengingatkannya kepada pemilik toko yang bernama Anne Warren. Timbul keinginannya untuk memesan sesuatu sebagai hadiah ulang tahun Laksmi.

Virginia’s Florist namanya. Anne selalu berada di tokonya dan melayani setiap pelanggannya dengan sangat baik. Anne menyapa Faisal dengan ramah ketika ia memasuki toko. Faisal mengingatkannya akan pertolongan yang pernah Anne lakukan dan meminta nasihatnya untuk memilih sebuah rangkaian bunga yang cocok sebagai hadiah ulang tahun bagi Laksmi.

“Saya pikir sebuah ‘mix hand bouquet’ yang terdiri dari Casablanca Lilies dan beberapa tangkai mawar merah adalah sesuatu yang cocok untuknya” Jawab Anne.

Anne menunjukkan apa yang ia maksudkan pada katalog tokonya. Faisal tersenyum dan menganggukkan kepalanya tanda setuju. Ia memberi alamat dan nomor telepon Laksmi pada Anne beserta kartu ucapan yang telah ia persiapkan. Faisal meminta Anne untuk mengirimkannya pada pukul 7.30 esok pagi. Anne menyanggupinya. Ia akan mengirimkan seorang kurir yang bertugas mengantarkannya. Faisal membayar pesanannya dan mengucapkan terima kasih. Ia berniat meninggalkan toko tersebut secepatnya karena kondisinya yang masih saja labil.

Ketika Faisal beranjak dari meja kasir, Ia mendapatkan dirinya kehilangan keseimbangan. Kepalanya tiba-tiba terasa berat. Kakinya terasa lemah tak berdaya. Ia berjalan terhuyung dan mencari tempat bersandar untuk menopang tubuhnya. Melihat kejadian ini, Anne dan seorang pegawai toko dengan spontan menghampirinya dan memegangi badan Faisal yang terlihat tak berdaya. Mereka membopong Faisal dan mendudukannya di suatu sudut toko…Anne meluruskan kaki Faisal dan mendapati suhu badannya yang cukup tinggi. Ia mencoba untuk berbicara pada Faisal, memanggil namanya tapi Faisal tidak dapat menjawabnya. Kesadarannya amat labil. Anne berinisiatif untuk menghubungi 911. Ia meminta mereka untuk mengirimkan ambulance secepatnya. Ketika ambulance itu meninggalkan tokonya, Anne menghubungi Laksmi ke nomor ponsel yang diberikan Faisal kepadanya. Tidak ada jawaban. Ia meninggalkan pesan agar Laksmi segera menghubunginya.

ooOOOoo

Laksmi bergegas meninggalkan kegiatan intership nya pada siang itu. Ia menuju GW University Hospital dengan Taxi. Sesampainya di rumah sakit, Laksmi berusaha mencari informasi tentang Faisal. Seseorang mengarahkannya untuk menuju ruang ICU. Ia berlari secepat yang ia mampu…

“Ahmad Faisal Husein!” Begitu ia menyampaikan nama lengkap Faisal kepada perawat yang menjaga pintu ICU. Nafasnya terengah-engah saat ia berbicara.

Perawat itu tersenyum kepadanya, “Anda kerabatnya?”

Laksmi menganggukkan kepalanya dan berusaha untuk tenang.

“Silahkan anda duduk terlebih dahulu. Pasien sedang dalam penanganan dokter. Saya akan memberitahu tim dokter bahwa salah seorang kerabatnya telah ada disini.” Jawab perawat itu ramah.

“Terima kasih.” Jawab Laksmi sembari menuju tempat duduk yang berjejer di koridor tepat di depan ruang ICU yang tidak seberapa besar itu.

Pikiran Laksmi melayang jauh. Ia sama sekali dalam keadaan bingung. Satu hal yang ia dengar dari percakapannya dengan Anne di telepon tadi bahwa Faisal mendadak lemas dan tidak sadarkan diri. Apa yang terjadi dengannya? Tadi malam mereka masih berbicara di telepon. Faisal tidak pernah mengeluh kepadanya tentang apapun penyakit yang pernah dideritanya. Satu-satunya keluhan Faisal yang pernah di dengarnya adalah masalah pencernaannya ketika mereka menonton pertandingan baseball beberapa waktu lalu.

Ia terus menunggu dan berharap dokter akan menyampaikan berita yang baik kepadanya. Ia membayangkan kemungkinan Faisal mendapat serangan jantung. Tapi mungkinkah hal itu? Faisal bukanlah seorang yang berbadan subur. Demikian juga pola makannya yang selalu ia jaga, tidak merokok dan tidak menyukai makanan yang berlemak serta puasa Senin-Kamis yang selalu ia lakukan. Terlebih Faisal menyukai olah raga jogging.

Tak lama ia harus menunggu. Tiga orang yang mengenakan jas putih menghampiri dan menyapanya dengan ramah,

“Anda kerabat Ahmad Faisal Husein?” Tanyanya.

“Benar.” Jawab Laksmi singkat.

“Saya Dr. Matthew Gindoff, ini Dr. Paul Chandler dan Dr. Aysha Sezgin. Kami tim dokter yang menangani Mr. Husein.”

Dr. Matthew kemudian bertanya, “Kalau boleh tahu hubungan anda dengan pasien?”

“Saya pacarnya.” Jawab Laksmi tanpa ragu.

Ketiga dokter tadi saling memandang satu sama lain dalam kebingungan.

“Bagaimana dengan kondisinya Dokter?  Mohon beritahu saya!” Pinta Laksmi.

“Baiklah, kami akan mendiskusikannya dengan anda” Kata Dr. Matthew sembari mengajak Laksmi menuju ke suatu ruangan diskusi kecil di sebelah ruang ICU. Laksmi mengikuti ketiganya.

“Panggil saya Dr. Matt saja. Saya dokter spesialis Gastroenterology and Liver diseases[1], sedang ini rekan saya, Dr Paul Chandler spesialis Infectious Diseases[2] dan Dr. Aysha Sezgin adalah seorang resident doctor[3] di sini. Karena anda bukan kerabat dekatntya, kami hanya dapat menyampaikan keadaan pasien secara garis besarnya saja.” Dr. Matthew memberi penjelasan.

“Awalnya kami berpikir ia mendapat serangan jantung. Kami melibatkan seorang ahli penyakit jantung untuk memeriksanya. Tapi kenyataannya tidak demikian. Keadaannya normal…Tidak ada masalah dengan jantungnya. Kami sedikit curiga dengan sistem pencernaannya. Hal ini didukung dengan suhu tubuhnya yang relatif tinggi. 39,5 C. Adakah ia mengeluh tentang penyakitnya kepada anda selama ini?” Tanyanya.

“Ada, doctor…kira-kira seminggu yang lalu. Ia merasakan perutnya mual dan tidak ada nafsu makan. Hanya itu saja.” Jawab Laksmi.

“Baiklah kalau begitu. Kami sedang melakukan beberapa uji pathology klinis terhadapnya. Dalam beberapa jam ke depan sudah akan ada hasilnya. Kami belum dapat menyimpulkan penyakitnya. Saat ini ia dalam keadaan labil. Demikian juga dengan kesadarannya. Apakah orangtuanya atau saudara kandungnya akan datang? Kami membutuhkan persetujuan mereka jika kami harus mengambil tindakan lebih lanjut” Tanya Dr. Matt Lagi.

Laksmi tidak langsung menjawab. Air mata mulai membasahi wajahnya yang kelihatan bingung dan pucat. Dr. Aysha terus memperhatikannya dalam kebisuan, memandang ke arah Laksmi dari atas kepala hingga mata kakinya.

“Aku akan memberi tahu mereka, dokter.” Jawab Laksmi sembari menggigit bibirnya menahan tangis.

Dokter Matt memegang pundak Laksmi sembari tersenyum dan berkata, “Maafkan saya jika apa yang saya sampaikan membuat anda sedih. Dia dalam penanganan tim terbaik kami. Jangan terlalu khawatir. Anda boleh masuk ke ruang ICU dan melihatnya sekarang. Jika ada yang ingin anda tanyakan, silahkan menghubungi kami. Dr. Aysha akan selalu ada disini dan siap membantu anda.”

“Terima kasih Doctor.” Jawab Laksmi.

Dr. Matt dan Dr. Paul mengulurkan tangan mereka untuk bersalaman dengan Laksmi sedang Dr. Aysha menawarkan diri kepada Laksmi untuk mengantarkannya ke ruang ICU.

Faisal terbaring di tempat tidur dengan selang infus menghiasi punggung tangannya. Ia tidak sadarkan diri. Pernafasannya dibantu oleh aliran oksigen yang terpasang menutupi mulut dan hidungnya. Beberapa kabel yang terhubung dengan monitor terpasang di dadanya. Bunyi alat-alat itu membuat perasaan Laksmi begitu pilu.

Laksmi berdiri di samping kanan Faisal. Ia menangis terisak tapi berusaha menguasai dirinya. Dalam keadaan demikian, Ia merasakan ada sesuatu yang tidak biasa dengan pandangan Dr. Aysha kepadanya. Sorot matanya senantiasa tajam memandang ke arahnya. Sepertinya ada tingkah lakunya yang salah atau sang dokter tidak begitu menyukainya.

“Sebaiknya anda tidak berlama-lama di ruangan ini. Kami akan terus mengawasi keadaannya.”  Ungkap Dr. Aysha kepada Laksmi.

“Baiklah…Saya akan menunggu diluar.” Jawab Laksmi.

Ia melangkahkan kakinya keluar ruangan dan mencoba untuk menghubungi Tara agar memberitahukan keluarga Faisal mengenai keadaannya.

Laksmi terus menanti diruang tunggu yang berada di koridor rumah sakit itu. Berbaur bersama keluarga pasien lain yang merasa senasib dengannya. Ia mendengarkan obrolan, tangisan dan keluh kesah mereka semuanya. Terpikir olehnya untuk menghubungi Bapaknya, tapi niat itu ia urungkan. Bapaknya masih mengikuti seminar dan tidak mungkin berada di kamar hotel nya sore ini. Tanpa ia sadari, seseorang berjalan menghampirinya dan kini berada dihadapannya.

“Mohon maaf, tugas jaga saya telah berakhir untuk hari ini. Ini pengganti saya yang akan bertugas sore hingga malam nanti” Kata Dr. Aysha.

Ia mengenalkan Dr. Louis Wright. Laksmi berdiri dan bertanya kembali tentang keadaan Faisal.

“Kami akan terus mengawasinya.” Jawab Dr. Louis.

Laksmi kembali ke tempat duduknya. Ia bertanya dalam dirinya kenapa penyakit Faisal belum juga diketahui? Apakah mereka tidak ingin menyampaikan hal itu kepadanya? Atau ia tak pantas menerima berita itu? Dari kejauhan, tampak Dr. Aysha sedang berbicara dengan beberapa perawat di depan ruang ICU. Kini ia tidak lagi mengenakan jas putih dan rambutnya dibiarkan tergerai dalam balutan blouse warna biru cerah dan celana panjang hitam. Ia terus memandang ke arah Laksmi. Ketika Laksmi mengarahkan padangan kepadanya, ia berupaya berpaling. Begitu berkali-kali. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia sampaikan kepada Laksmi tapi ia tidak memiliki keberanian untuk melakukan hal itu. Laksmi mencoba mengalihkan pandangannya ke arah pintu lift yang berada disisi kanannya. Sudah berpuluh kali pintu lift itu terbuka dan tertutup. Ia memperhatikan orang yang keluar masuk lift itu sampai akhirnya sebuah suara membuatnya sedikit tersentak.

“Anda punya waktu?” Tanya Dr. Aysha.

“Tentu, Dr. Aysha.” Jawab Laksmi singkat.

“Ada sebuah cafetaria di lantai enam. Kita dapat berdiskusi disana.” Ungkap Dr. Aysha sembari mengajak Laksmi untuk pergi.

Laksmi duduk menghadap Dr. Aysha yang membawakan secangkir teh untuknya. Ia tersenyum dan mengucapkan terima kasih walau dengan pandangan kosong.

“Sejauh mana anda mengenal Faisal?” Tanyanya.

Laksmi sedikit kaget mendengar pertanyaan itu. Ia tidak langsung menjawabnya.

“Aku bertemu dengannya bulan Januari yang lalu.” Jawab Laksmi tanpa ingin menjelaskan lebih lanjut.

“Maafkan aku jika hal ini menyinggung anda. Aku juga mengenal Faisal dan pernah dekat dengannya.” Jelas Dr. Aysha.

Laksmi hanya memandang ke arah Dr. Aysha tanpa berkata sepatah katapun. Pernyataan itu menjawab prasangkanya di ruang ICU tadi. Ia merasakan ada yang tidak biasa dengan sorot mata Aysha kepadanya dan kini hal itu terjawab sudah. Ia berusaha mengingat kembali segala perkataan yang pernah diucapkan oleh Faisal.  Adakah nama Aysha pernah menjadi topik pembicaraan? Sejauh yang ia ingat, nama itu tidak pernah ada.

“Kapan hal itu terjadi?” Tanya Laksmi lagi.

“Kira-kira setahun yang lalu.” Jawab Aysha.

Keduanya diam walaupun seribu satu pertanyaan muncul dibenak masing-masing. Aysha terus memperhatikan Laksmi, sedangkan Laksmi hanya memandang ke arah cangkir teh yang ada dihadapannya.

“La…ksmi….Aku mengenal Faisal dan pernah menaruh harapan kepadanya tapi tidak demikian dengannya. Ia hanya menganggapku sebagai teman. Sejak itu kami selalu menghidar untuk bertemu.”

“Ia seorang laki-laki yang paling baik yang pernah aku kenal. Aku banyak belajar darinya tentang Islam dan Ia berusaha mendekatkanku kepada Allah……..Aku amat bahagia dapat mengenalnya.” Jawab Aysha memberi penjelasan.

Laksmi berusaha tersenyum. Perasaannya sedikit lega kini. Bagai sebuah beban berat yang terangkat dari pundaknya.

“Aku juga merasakan demikian Dr Aysha. Ia seorang laki-laki yang baik dan…..” Kalimat Laksmi terhenti.

“Panggil aku Aysha saja….”

“Yang sangat disayangkan adalah….Kita sama-sama mencintai orang yang sama….. tapi…….yang membahagiakan adalah kita sama-sama mencintai orang yang baik.” Aysha kembali memberi pernyataan.

“Anda masih mencintainya?” Tanya Laksmi.

Aysha lama terdiam sebelum akhirnya menjawab, “Aku telah melupakannya…walaupun awalnya aku harus berjuang untuk melupakannya sekuat tenagaku. Faisal adalah seseorang yang punya pendirian teguh dan sangat menghargai wanita….”

“Apakah ia pernah bercerita kepadamu tentang Ibunya?” Tanya Aysha lagi.

Laksmi mengangguk dan menjawab,

“Faisal sangat menghormati Ibunya.”

“Faisal bukan seseorang yang mudah untuk mengambil keputusan. Kamu pantas untuk bahagia.” Kata Aysha.

Laksmi tidak menanggapinya. Pikirannya kosong saat ini. Satu hal yang menjadi harapannya kini adalah kesembuhan Faisal. Ia kembali bertanya tentang keadaan Faisal.

“Apakah penyakitnya serius?” Tanya Laksmi.

Wajah Aysha berubah murung dan berkata, “Menurut uji pathology klinis yang telah kami lakukan, ada satu hal yang membuat kami cukup khawatir.”

“Apakah hasilnya sudah ada?” Tanya Laksmi lagi.

Aysha mengangguk.

“Sebenarnya aku tidak dapat menyampaikan kepadamu tentang hal ini karena….”

Aysha diam dan tidak melanjutkan lagi kalimatnya.

“Karena aku hanya pacarnya dan hal ini melanggar kode etik kedokteran, bukan?” Jawab Laksmi sedikit ketus.

“Aysha……aku seorang psycholog, aku mengerti akan hal ini. Tidak ada yang harus disembunyikan.” Pinta Laksmi lagi.

Aysha hanya diam untuk kemudian bertanya, “Apakah orangtuanya akan datang?”

“Insya Allah…Aku telah memberi khabar kepada mereka melalui seorang teman.” Jawab Laksmi.

“Laksmi, aku mengajakmu kemari bukanlah untuk bercerita tentang hubunganku dengan Faisal, tapi aku ingin menyampaikan kepadamu tentang keadaan Faisal yang sebenarnya walaupun hal itu bertentangan dengan kode etik profesiku. Aku hanya ingin meyakinkan diriku bahwa aku tidak memberi informasi kepada orang yang salah.” Jawab Aysha.

Laksmi menganggukkan kepalanya dan memandang ke arah Aysha sembari berkata,

“Katakanlah, Aysha. Aku siap menerima kenyataan apapun tentang keadaannya.”

“Kami dari tim dokter berusaha berbuat yang terbaik untuk menyelamatkannya…..Ada virus yang bersarang di otaknya. Bisa jadi virus ini berasal dari pencernaan dan dibawa melalui darah yang mengalir menuju otaknya. Ia sedang dalam kondisi kritis saat ini. Masa kritisnya adalah 2×24 jam. Jika ia dapat bertahan, ia akan sembuh……Tapi bisa jadi dengan kemungkinan yang terburuk…” Jelas Aysha.

Air mata Aysha tampak menggenang menunggu tetesannya jatuh membasahi wajahnya. Ia tak sanggup untuk meneneruskan kata-katanya

“Apa kemungkinan terburuk itu?” Tanya Laksmi lagi.

“Kita harapkan ia dapat sembuh dan menjalani hari-harinya seperti sedia kala…Tapi tidak tertutup kemungkinan ada kerusakan jaringan otak yang menyebabkan kelumpuhan organ tubuhnya.”  Jawab Aysha sembari menutup wajah dengan kedua tangannya. Badannya terguncang menahan tangis. Terdengar sayup-sayup rintihan kecil dibalik kedua tangannya.

Laksmi hanya dapat diam dan menundukkan kepalanya seraya mengucap

“Allahu Akbar…”

Air mata nya tak tertahankan lagi. Jatuh berderai membasahi wajahnya yang terlihat amat letih. Ia tak berdaya….luluh dalam kesedihan yang amat sangat. Ia tak mampu berkata apapun lagi….Ia galau…Ia limbung.

ooOOOoo

Laksmi bersimpuh di sebuah gudang kecil tempat dimana perlengkapan medis banyak tersimpan. Tempat yang biasa dipergunakan oleh Aysha untuk melaksanakan kewajiban shalat fardhu. Aroma sodium peroxida memenuhi ruangan itu. Laksmi tidak terlalu menghiraukannya. Setelah mengucap salam dalam shalat Maghrib yang baru saja dilakukan, ia menurunkan keningnya ke lantai tempat sajadah pinjaman dari Aysha terhampar. Membiarkan air mata nya membasahi sajadah berwarna merah itu. Ia bersujud menghadap kiblat. Melantunkan harapannya kepada Sang Pencipta yang menggenggam segala kehidupan.

“Ya Allah, baru sebentar aku mengenalnya. Belum sempat kami merangkai hari-hari kami lebih jauh…Sembuhkanlah dia ya Allah….Sembuhkanlah dia….Aku berjanji kepadamu akan selalu berada disampingnya dalam keadaan apapun ya Allah….Dalam suka dan duka….dalam lapang dan sempit….Aku berjanji kepada-Mu akan melaksanakan apapun yang Engkau perintahkan ya Allah. Aku tidak akan meninggalkan shalat lagi dan mengerjakan segala kebaikan yang Engkau perintahkan. Ya Allah tolonglah aku….sembuhkanlah ia.”

Air mata nya terus mengalir keluar dalam kepasrahan diri yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Jiwanya layu bagai dedaunan yang tak mengenal air dalam jangka waktu lama. Ia benar-benar merasakannya kini. Inti ajaran Islam bukanlah hanya sekedar adil, jujur dan berbuat baik seperti apa yang diajarkan oleh sang Bapak kepadanya selama ini…..tapi bagaimana merasakan kehadiran Allah dalam keadaan sulit seperti saat ini, berharap akan pertolongan-Nya dan kepasrahan yang tulus sebagai seorang hamba. Ia terus memohon agar Allah dengan segala kemurahan-Nya merubah keadaan Faisal. Ia teringat akan kata-kata Faisal disuatu malam di bulan Ramadhan yang lalu.

“Menjalankan ibadah itu baru setengahnya, Laksmi….dan setengah yang lain berkaitan dengan ujian hidup.”

Kini ujian hidup itu benar-benar ia rasakan. Ia harus kuat dan yakin bahwa pertolongan Allah itu akan datang. Ia terus bersimpuh dan berdoa. Sesekali ia kembali bersujud, merendahkan diri mengucapkan istighfar sampai akhirnya waktu Isya menjelang.

Tadinya ia tidak ingin meninggalkan ruang tunggu ICU malam itu, tapi Aysha menyarankannya untuk pulang dan beristirahat. Ia meninggalkan nomor teleponnya kepada petugas jaga ICU agar menghubunginya sewaktu-waktu jika keadaan Faisal memburuk. Ia melewati malamnya dengan bersimpuh di sajadahnya. Sulit baginya untuk memejamkan mata. Ia lakukan shalat tahajud dan berdoa semampu yang ia bisa. Keletihan akhirnya memaksanya untuk merebahkan diri diatas sajadah hingga hampir terlewat olehnya waktu Shubuh.

Note:


[1] Ahli penyakit dalam yang menangani bagian pecernaan dan hati

[2] Ahli penyakit infeksi

[3] Dokter umum yang bertugas di rumah sakit

 

 

 

Bagian ke 8: AWAL MUSIM SEMI

Hari-hari Ramadhan telah berakhir. Faisal dan Laksmi melaksanakan shalat Idul Fitri di kedutaan besar Indonesia di Washington DC. Lebaran kali ini jatuh di hari Sabtu yang merupakan hari libur akhir pekan. Setelah shalat dilaksanakan, Faisal, Laksmi, Tara, Hani dan dua orang teman Faisal yang juga berasal dari Indonesia berangkat dengan kereta Metroliner menuju New York. Mereka berencana berkumpul bersama dengan keluarga besar Nusantara Commodities merayakan lebaran.

Sepanjang perjalanan kereta yang menempuh waktu dua setengah jam itu, Tara memperhatikan dengan seksama apa yang terjadi dengan Laksmi dan Faisal. Ketika Faisal dan kedua temannya berada di gerbong Café untuk menikmati snack, Tara bertanya langsung kepada Laksmi tentang hubungannya dengan Faisal. Laksmi bercerita apa adanya. Tara tersenyum dan mengucapkan selamat kepadanya. Ia bercerita kepada Laksmi apa yang diketahuinya tentang Faisal. Seorang yang baik dan selalu santun. Seseorang yang sangat menyayangi Ibunya. Seorang yang bagi ibu-ibu di perusahaan tempat orangtua mereka berkerja dijadikan prioritas untuk dijadikan mantu. “The Most Eligible Bachelor….” Sebut Tara. Mereka berdua tertawa saat Tara mengatakannya.

“Sebenarnya kedua orangtua ku berharap banyak dari pertemuanku dengan Faisal. Ibuku ingin agar aku dekat dengan Faisal.” Tara mengakuinya.

“Aku tidak merasakan apapun saat bertemu dengannya. Demikian juga cara ia memperhatikanku….Biasa saja. Aku dapat merasakan perhatiannya terhadap kamu. Cara ia memandangmu…memang terlihat berbeda….Alhamdulillah… kalau kamu bisa dekat dengannya, Laksmi. Aku turut bahagia.” Ungkap Tara.

Laksmi tersenyum dan berkata, “Kami belum berkomitmen apapun. Kami mencoba untuk menjalaninya apa adanya. Aku sangat faham, Faisal adalah seorang yang alim dan tidak mudah untuk berkomitmen sebelum ia yakin benar tentang hal itu.”

Dialog mereka terhenti saat Faisal dan teman-temannya kembali ke tempat duduk mereka. Faisal dan Laksmi tersenyum saat Tara bercanda mengenai hubungan mereka.

Musim dingin itu berlalu tanpa terasa. Faisal disibukkan oleh kuliahnya yang saat ini berada di semester akhir. Ia hanya mengambil dua mata kuliah yang masih tersisa. Jika semuanya berjalan dengan lancar, Ia akan diwisuda pada bulan Mei nanti. Disamping kuliah, Faisal juga mengisi hari-harinya dengan bekerja sebagai assisten riset seorang professornya yang bernama Dr. William Waters yang memimpin lembaga Institute of Crisis Management and Disaster Center di George Washington University. Sebuah lembaga konsultan riset yang banyak menelurkan berbagai prosedur kebijaksanaan baik bagi perusahaan swasta maupun instansi pemerintah Amerika. Saat ini Faisal terlibat dalam sebuah tim kerja yang merancang ‘Panduan Standar Operasi’ bagi sebuah perusahaan minyak kenamaan Amerika yang banyak mengoperasikan anjungan minyak lepas pantai di Alaska. Paduan seperti itu dibutuhkan saat terjadi bencana alam seperti gempa atau kebakaran. Ia bekerja setiap hari bersama tim nya mengejar teggat waktu yang telah ditetapkan.

Laksmi juga selalu disibukkan dengan program internship nya di Radio VOA. Kegiatannya baru berakhir di sore hari. Terkadang tugas-tugas jurnalistik pun sudah menunggunya. Ia harus membuat laporan kerja harian yang menyebabkannya harus berada di perpustakaan gedung VOA hingga larut malam.

Disebabkan kesibukan masing-masing, Faisal dan Laksmi jarang bertemu. Hanya sekedar menelepon untuk bertukar kabar tentang keadaan masing-masing. Walaupun demikian, mereka biasanya meluangkan waktu bersama di akhir pekan. Faisal membawa Laksmi ke beberapa tempat yang menarik untuk dijadikan objek foto sembari Faisal terkadang membuat sketsa objek yang menarik hatinya untuk dilukis. Di waktu yang lain, mereka menjelajahi toko-toko buku kecil dengan koleksi buku-buku tua yang unik dan sangat berharga di kota DC.

Kegiatan Faisal yang lain adalah secara sukarela mengajar tahsinul Al Quran di musholla kampus nya setiap Rabu malam. Pertemuan ini  dihadiri 6-8 orang mahasiswa selepas shalat Isya. Jika Laksmi tidak terlalu sibuk dengan kegiatannya, ia menjadi salah seorang yang menghadirinya.

Suatu ketika, Faisal menghubungi Ibu nya melalui telepon dan bercerita kepadanya tentang Laksmi. Sang Ibu menyampaikan bahwa ia telah mendengar berita tersebut dari Ibu Tara. Tanggapan Bunda nya positif dan meminta Faisal untuk selalu menjaga dirinya dan tidak mengecewakan Laksmi.

“Bunda selalu berdoa untuk kebahagianmu, nak. Mudah-mudahan suatu saat nanti Bunda akan bertemu dengannya.” Begitu ibunya berpesan.

Faisal amat bahagia mendengarnya. Ia bersyukur bahwa ibunya masih saja mendukungnya. Ia berharap bahwa Ibunya akan menyukai Laksmi, seorang wanita Jawa yang lembut dan cerdas.

Demikian pula dengan Laksmi. Seminggu sekali, Laksmi berusaha menghubungi Bapak nya melalui telepon sekedar bertegur sapa dan menyampaikan hal-hal yang baru dilaluinya. Laksmi menyampaikan perihal hubungannya dengan Faisal sembari berkata:

“Ia bukan orang Jawa.”

Sang Bapak menjawab sembari tertawa, “Eyang Kakung dan Putri mu yang dulu mempersoalkan hal ini dengan Almarhumah Ibumu…..Bapak tidak pernah mempersoalkannya dengan mu, nduk…..Menurut Bapak, Laki-laki yang mencintaimu harus cerdas dan dapat selalu membimbingmu dalam kebaikan….Bukan harus orang Jawa”

“Mudah-mudahan Allah akan mengabulkan harapan Bapak. Laksmi berharap tidak mengecewakan Bapak kali ini.” Ungkap Laksmi.

Dalam pembicaraan mereka terakhir di telepon, Bapak nya menyampaikan kepada Laksmi rencana kedatangannya ke Amerika untuk menghadiri seminar.

“Bapak akan ke Amerika awal April nanti. Ada seminar yang akan Bapak ikuti di John Hopkins University di kota Baltimore yang tidak berapa jauh dari Washington DC. Mudah-mudahan kita dapat merayakan ulang tahunmu bersama dan Bapak dapat berkenalan dengan Faisal nanti…” Begitu Bapaknya menyampaikan.

Bapak Laksmi adalah seorang guru besar dibidang Econometrics yang disegani . Ia memperoleh gelar dari University of Pittsburg pada akhir tahun 60-an. Lebih setengah usianya ia habiskan untuk mengajar, meneliti, menghadiri seminar dan menulis buku. Disamping itu ia juga berkiprah sebagai salah satu penasihat ekonomi presiden Suharto yang diembannya dari tahun ke tahun. Puluhan buku telah ia tulis. Hasil karyanya dalam bidang Statistika telah menjadi buku wajib bagi sebahagian besar mahasiswa fakultas ekonomi berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

Laksmi akan genap berusia 26 tahun pada tanggal 8 April bulan depan. Hari yang selalu ia lewatkan bersama Bapaknya sejak ia kecil hingga dewasa. Sang Bapak selalu membawa Laksmi ke panti asuhan putri Aisyiyah Muhamadiyah Yogykarta untuk merayakan ulang tahunnya disana. Suasana yang ramai di panti membuat Laksmi ceria merayakan ulang tahunnya. Bapaknya berusaha menanamkan nilai-nilai kepekaan sosial di diri Laksmi sejak kecil dan berharap hal itu akan terus tumbuh. Ketika Laksmi beranjak dewasa dan telah menyandang status mahasiswa, Laksmi tetap melakukannya. Ia membiayai sendiri dengan uang sakunya untuk sekedar berbagi dengan anak-anak yatim putri di panti asuhan tersebut. Ia mengantarkan sendiri makanan dan berbagi keceriaan dengan mereka. Begitu juga ketika ia telah bekerja di Jakarta, Laksmi berusaha mengambil cuti disaat ulang tahunnya agar ia bisa kembali ke Yogya dan merayakannya bersama Bapaknya dan anak-anak yatim putri panti asuhan tersebut.

ooOOOoo

Bulan Maret adalah awal sebuah musim semi di Washington DC. Daun-daunan kembali tumbuh menyeringai setiap pohon yang berjejer di sepanjang jalan dan taman-taman kota yang ada. Demikian juga kuntum bunga tulip berbagai warna mulai terlihat dimana-mana. Biasanya bunga-bunga tulip ini akan mengembang di awal bulan April. Suasana musim semi yang indah membuat warga kota sangat menikmatinya. Café dan restauran yang sepanjang musim dingin hanya menjamu tamunya di ruangan dalam, pada musim semi akan mempergunakan beranda, halaman dan trotoar jalan yang lebar sebagai tempat menjamu tamu-tamu mereka. Demikian juga pertandingan-pertandingan olah raga akan lebih semarak dengan dimulainya pertandingan antar klub sepak bola (soccer) dan softball (Baseball) di musim semi ini.

Faisal menyukai olah raga Baseball. Ia sering meluangkan waktu di musim semi bersama teman-teman Amerika nya untuk menonton beberapa pertandingan yang diselenggarakan di Robert F. Kennedy Memorial Stadium atau dikenal dengan sebutan RFK Stadium. Sebuah stadiun olahraga multiguna yang dibuka pada tahun 1961 dan berganti nama menjadi RFK setelah terbunuhnya Robert F. Kennedy, adik kandung president John F. Kennedy pada bulan Juni 1968.

Ada hal unik yang disukai Faisal dalam pertandingan Baseball. Suasana pertandingan selalu berjalan lambat dan teratur. Setiap saat ada jeda waktu yang cukup lama ketika suatu tim harus berganti tempat permainan atau saat ketika seorang pemain harus bergantian memukul bola. Berbeda dengan pertandingan sepak bola atau basket yang selalu menampilkan ketegangan dari menit ke menit. Baseball lebih menawarkan keteraturan dan sebuah tontonan tanpa ketegangan yang menyengat.

Disela-sela pertandingan, penjaja makanan kecil berseliweran menawarkan minuman ringan, popcorn, hotdog dan nachos yang merupakan keunikan tersendiri. Karena alasan inilah, Faisal berusaha mengajak Laksmi untuk menyaksikan salah satu pertandingan baseball terpenting di liga antar kota Amerika sore itu. Tim New York Yankees yang berasal dari kota New York bertemu dengan tim Washington Nationals yang merupakan tim tuan rumah. Faisal berharap Laksmi dapat menikmati pertandingan ini sembari mereka bertukar pikiran sepanjang pertandingan tanpa harus terganggu atau mengganggu orang lain.

Faisal dan Laksmi duduk di bagian pendukung tim tuan rumah. Laksmi terlihat antusias dan menikmati suasana yang baru pertama kali ia rasakan. Mereka bertemu dengan beberapa teman-teman Faisal yang menonton pertandingan itu. Beberapa kali Faisal berusaha menjelaskan kepadanya perihal seluk beluk pertandingan yang sedang berlangsung.

“Apa rencanamu ke depan setelah internship ini berkahir Laksmi?” Tanya Faisal.

“Aku akan bergabung kembali di biro konsultan tempatku berkerja sebelumnya. Aku ingin menimba pengalaman yang lebih banyak….Sesudah itu mungkin aku akan…..” Laksmi tidak meneruskan kalimatnya untuk beberapa saat.

“Dalam hati kecilku, aku ingin sekali mengajar seperti Bapakku. Tapi aku lebih ingin untuk menjadi seorang guru SD atau SMP daripada menjadi seorang dosen.” Jawab Laksmi.

“Bukankah menjadi dosen itu lebih penting daripada guru SD?” Tanya Faisal lagi.

“Kebanyakan orang mungkin berpikir seperti itu, Mas….tapi kenyataannya kita selalu mengabaikan pendidikan dasar anak-anak kita. Padahal justru pendidikan dasar itu sangatlah penting dalam menentukan tahap kehidupan mereka selanjutnya.”

Laksmi kemudian bercerita kepada Faisal perihal kedekatannya dengan anak-anak yatim panti asuhan putri Aisyiyah di Yogya yang selalu dikunjunginya.

“Aku diminta oleh mereka untuk menjadi salah seorang pengurus. Tugasku adalah membimbing anak-anak itu untuk menemukan bakat mereka. Semacam tim konsuling. Walaupun aku tidak tinggal di Jogja, aku memiliki tim yang selalu bekerja.” Jelas Laksmi lagi.

“Alhamdulillah sebuah tugas yang sangat mulia.” Jawab Faisal.

“Apa rencana mas Faisal ke depan.” Laksmi balik bertanya.

“Aku ingin menjadi seorang dosen dan membuka biro arsitektur kecil.” Jawab Faisal.

“Di Jakarta?” Tanya Laksmi lagi

“Aku belum bisa memutuskannya, Laksmi.”

Belum sempat Faisal meneruskan kalimatnya, seorang pemain tuan rumah melakukan ‘home run’[1] yang menyebabkan stadiun terasa bergetar dengan  sorak penonton yang melampiaskan kegembiraan mereka. Faisal dan Laskmi ikut berdiri bertepuk tangan. Tak lama kemudian Laksmi mengarahkan kameranya untuk mengambil beberapa foto dari momen yang sangat ia tunggu-tunggu itu.

“Aku ingin memiliki sebuah kehidupan kecil yang menentramkan….Sebuah kehidupan yang jauh dari hiruk pikuk yang membuat kita cepat menjadi tua.” Jelas Faisal sembari tersenyum.

“Kadang aku tidak dapat mengerti, kenapa seseorang harus begitu rakus mengejar dunia ini yang cepat atau lambat akan ditinggalkannya.”

“Bukankah naluri manusia seperti itu, Mas? Mereka ingin selalu menaklukkan dunia ini untuk hidup bahagia” Tanya Laksmi.

“Aku ingat apa yang Rasulullah saw sampaikan, ‘Orang yang cerdas itu adalah orang yang selalu mempersiapkan dirinya untuk kehidupan akhiratnya.’ Kita seharusnya sadar bahwa hidup kita di dunia ini adalah sebentar. Dan bagian yang terpenting adalah mempersiapkan diri untuk kematian yang pasti datang dengan amal shaleh.”

Laksmi tersenyum mendengarnya, sebelum akhirnya Faisal melanjutkan uraiannya.

“Memang benar naluri manusia itu ingin selalu menaklukkan dunia. Setiap menusia memiliki hawa nafsu. Justru hawa nafsu ini yang tanpa disadari mendorong manusia untuk melalukan hal yang sebaliknya. Bukannya memperoleh kebahagian di dunia, tapi malah kerugian di dunia dan akhirat. Sebuah contoh mengenai hal ini ada dikeluargaku. Ayahku ingin selalu meraih segalanya dalam hidupnya…Karir…Harta…dan….Kekuasaan. Pada akhirnya tidak ada satupun yang dapat membuatnya bahagia. Uang dan kekuasaan itu tidak akan dapat membuat seseorang bahagia dalam hidupnya. Uang dan kekuasaan itu hanya dapat membuat hidup seseorang lebih mudah……mudah untuk melakukan segala hal yang dikehendaki oleh hawa nafsunya.”

“Ayahku hidup dalam kesendirian.” Jelas Faisal.

“Bukankah mas Faisal masih memiliki Ibu?” Tanya Laksmi memperlihatkan wajah yang sedikit bingung.

“Benar…Tapi Ayahku seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Tak ada yang dapat menyentuhnya…atau berbicara dari hati ke hati dengannya. Dengan kekuasaan yang ia miliki, ia menganggap semua orang itu selalu berada dibawahnya….. Ia sulit untuk mendengar pendapat orang lain dan sulit menerima kebenaran yang berasal dari orang lain. Ia meletakkan kebenaran itu pada persepsinya sendiri. Dengan kekayaan yang dimiliki, ia dapat berbuat apa saja dalam hidupnya dan terkadang penuh dengan keborosan.”

“Ada yang ingin aku sampaikan kepadamu Laksmi. Hanya sebuah cerita kecil tentang keluargaku. Hal ini terjadi ketika aku masih duduk di bangku SMA, Di perusahaan tempat ayahku bekerja, ia banyak berhubungan dengan rekanan perusahaan yang disebut dengan ‘Supplier’.  Kebanyakan dari mereka adalah keturunan Cina. Beberapa dari mereka sering mengantarkan makanan ke rumah kami. Bermacam-macam makanan yang lezat selalu menjadi menu utama kami. Tak ketinggalan buah-buahan impor yang mahal-mahal segala rupa selalu jadi menu penutup.”

“Suatu kali di meja makan, aku bertanya kepada Ayahku, ‘Apakah makanan yang kita makan ini dari sumber yang halal?’ Ayahku marah luar biasa dan memukul meja makan sembari berkata, ‘Aku pastikan apapun yang masuk ke mulut kalian anak-anakku adalah makanan yang halal. Aku ingin kalian dapat menikmati makanan yang enak dan bergizi!’ Suaranya menggelegar keras. Aku terdiam dan amat takut. Ibuku hanya bisa diam dan menunduk.”

“Walaupun Ayahku menyampaikan hal demikian, aku tidak percaya kata-kata Ayahku dan sebagai bentuk protes kepadanya, aku tidak mau makan apapun yang diantar oleh orang-orang itu lagi. Aku selalu memilih masakan ibuku walaupun terkadang hanya telur dadar. Demikian juga dengan buah-buahan yang dikirimkan. Aku lebih memilih buah-buahan yang dibeli Ibuku di pasar.”

“Suatu malam Ayahku pernah melihatku memakan potongan-potongan pepaya di dapur yang sebenarnya untuk konsumsi burung-burung peliharaan kami. Kami memelihara banyak sekali burung di belakang rumah. Ada Beo, Cucak rowo, Murai, dan lain sebagainya. Aku meminta salah seorang pembantu untuk memotongkannya buatku. Ia memotongkan pepaya yang masih utuh yang baru dibeli dipasar tadi pagi karena saat itu tidak ada buah lain yang dapat kumakan. Ayahku marah besar. Ia malu bahwa anaknya mengkonsumsi pepaya burung dan Ibuku membiarkan hal itu terjadi. Ayahku mendiamkanku selama seminggu lebih.”

“Sampai seperti itu?”

“Prinsip apa yang sebenarnya mas Faisal pertahankan…. sampai harus menolak makanan pemberian orang lain?” Tanya Laksmi lagi.

Faisal diam untuk beberapa saat.

“Kita harus berberhati-hati terhadap apapun yang kita makan, Laksmi. Makanan yang mahal tapi belum tentu halal jauh lebih buruk daripada makanan yang murah tapi halal. Aku sangat menikmati makan pepaya burung tapi halal daripada memakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya. Disisi yang lain, Apakah salah ketika aku menanyakan sumber makanan kami kepada Ayahku? Tanya Faisal.

Laksmi menggelengkan kepalanya. Faisal melanjutkannya lagi.

“Aku berharap selalu ada dialog dengan Ayahku secara baik dan santun sehingga aku bisa mengerti. Bukan langsung menggebrak meja dan marah. Bukankah suatu dialog yang didasari dengan kesantunan dan rasa kasih sayang antara seorang anak dengan Ayahnya akan berakibat baik pada jiwa si anak tersebut? Hal itu tidak pernah terjadi. Ayahku selalu membuat jarak  denganku. Ia begitu jauh diatasku. Ia tidak pernah ingin memposisikan dirinya sejajar dengan kami anak-anaknya maupun Ibuku.”

“Aku bisa mengerti, Mas. Idealnya komunikasi itu seharusnya didasari pada sikap sejajar dan kasih sayang….Terlebih komunikasi seorang anak dengan Ayahnya lebih diwarnai oleh rasionalitas sedangkan komunikasi seorang anak dengan Ibunya lebih diwarnai oleh emosionalitas. Tapi terkadang banyak hal yang menjadi hambatannya. Salah satunya adalah budaya yang mengharuskan kita untuk selalu tunduk kepada apapun yang orangtua kita inginkan tanpa dapat membantahnya sedikitpun. Terkadang orangtua kita juga terlalu takut ketika kita memiliki pendapat sendiri, mereka berpikir kita telah terlalu ‘maju’ dari mereka.” Jawab Laksmi memberi pengertian.

Faisal menoleh kepadanya dan tersenyum.

“Terima kasih, Laksmi….Itu hanya sebuah contoh kecil dalam kehidupanku. Sebuah kehidupan dimana kekuasaan dan kemapanan seringkali membutakan. Semuanya bagai sebuah kehidupan yang tidak nyata dan tidak berpijak dibumi. Aku bagai menelan pil pahit. Aku terpaksa menelannya walau tubuhku menolaknya. Aku benar-benar tidak menyukainya. Bagiku sebuah kehidupan itu harus dipenuhi dengan kententraman dan selalu berpijak ke bumi dalam kesederhanaan…..”

Faisal lama terdiam dan tidak meneruskan lagi kalimatnya.

“Apakah karena itu mas Faisal jadi sangat dekat dengan Bunda? Aku mendengar hal ini dari Tara.”

“Apa yang Tara ceritakan kepada kamu, Laksmi?” Tanya Faisal sedikit curiga.

“Tidak ada yang khusus, Mas. Ia hanya mengatakan, jika ingin menaklukkan mas Faisal, taklukkan dulu hati ibunya…” Laksmi tersenyum ketika mengatakannya.

Faisal tertawa mendengarnya dan berkata,

“Orang-orang terkadang salah mengartikan hubunganku dengan Ibuku, Laksmi…Mereka berpikir bahwa aku seorang anak ‘mami’ yang selalu patuh dan takut kepada Ibuku…padahal tidak seperti itu. Ibuku seorang wanita yang banyak menderita karena perlakuan Ayahku…..walaupun tidak selalu kekerasan fisik, tapi hatinya banyak terluka. Ia harus mengalaminya disebabkan perbuatanku…..”

“Maksud Mas Faisal?” Tanya Laksmi.

“Sejak kecil, Ayahku menginginkanku untuk menjalani kehidupan ini sesuai dengan rencana-rencana yang ia buat sendiri dan aku harus menuruti segala keinginannya itu tanpa kompromi. Ia selalu membandingkan diriku dengannya. Ia ingin aku dapat mengisi segala keinginannya yang tak tercapai semasa hidupnya. Ia ingin aku mengisi kekosongan yang ada di jiwanya….khayalan-khayalan tentang masa mudanya yang tidak bisa ia raih. Semua beban itu ada di pundakku karena aku hanya satu-satunya anak lelakinya. Ia tidak memberi untukku sedikitpun ruang untuk bergerak dan menentukan jalan hidupku.”

Faisal diam cukup lama dan meluangkan pandangannya ke pertandingan yang sedang berlangsung. Laksmi memandang ke arahnya.

“Semua itu berawal dari perlakuannya terhadapku ketika aku berumur 10 tahun.” Ungkap Faisal

Sebuah pengakuan akhirnya keluar dari lisan Faisal. Ia bercerita kepada Laksmi peristiwa yang pernah menyayat hatinya, peran ustad Amir dan bagaimana ia menjalani hari-harinya setelah itu.

“Aku hanya dapat berkomunikasi dengan Ayahku melalui Ibuku…. Dan itu tidak mudah bagi Ibuku.…..” Faisal tidak melanjutkan lagi pernyataannya.

Laksmi terus memandangnya dan memegang lengan  Faisal dengan kedua tangannya. Faisal membiarkannya.

“Apakah mereka akan merestui kita?” Tanya Laksmi.

“Aku yakin akan Ibuku tapi tidak Ayahku….Aku tidak pernah mengerti jalan pikirannya. Aku pernah membina hubungan yang serius dengan seorang wanita ketika aku bekerja di Jakarta. Kami berniat untuk menikah sebelum aku mengambil program S-2 ku tapi Ayahku tidak pernah merestuinya.”

“Apa yang menyebabkannya, Mas?” Tanya Laksmi lagi.

“Aku tidak tahu pasti karena Ayahku tidak pernah menyampaikannya kepadaku secara terus terang. Tapi yang pasti bukan sebuah masalah yang prinsip. Aku hanya berkeyakinan bahwa Ayahku tidak melihat sosok yang ia inginkan pada diri wanita itu.”

“Awalnya aku tidak ingin memutuskan hubunganku dengannya. Aku tetap pada pendirianku. Ayahku semakin menyudutkan dan menekan Ibuku untuk menyuruhku mengakhiri hubungan kami. Aku hanya bisa memohon dan terus memohon kepada Allah untuk menentukan yang terbaik bagi kami semua. Dan ternyata semuanya harus berakhir….Aku memutuskannya….dan kami berpisah.”

Laksmi menundukkan kepalanya saat Faisal mengakhiri ceritanya. Lama mereka terdiam. Kini ia melihat sebuah kenyataan terpampang dihadapannya dan kekhawatiran baru muncul dibenaknya.

“Aku khawatir hal seperti itu akan terjadi pada kita, Mas.” Kata Laksmi mengharapkan sebuah jawaban dari Faisal.

Faisal tidak langsung menjawabnya. Pandangannya kosong. Ia bagai membisu. Laksmi membiarkannya beberapa saat untuk kemudian memanggil penjaja makanan yang lewat di depannya. Ia ingin memesan minuman ringan dan nachos.

“Mas Faisal mau?” Tanyanya.

Faisal seakan bangun dari lamunannya dan berkata,

“Aku minta air mineral saja, perutku tidak enak beberapa hari ini. Selalu mual seperti masuk angin.”

“Tidak ke dokter, Mas?” Tanya Laksmi lagi.

“Aku pikir tidak terlalu serius. Bisa jadi hanya gangguan lambung saja” Jawab Faisal sembari menerima air mineral yang diberikan Laksmi kepadanya.

“Aku menikmati pertandingan ini, Mas. Suasananya begitu santai. Terima kasih sudah mengajakku kemari.” Jelas Laksmi.

“Sama-sama. Aku berharap kamu menyukainya.” Jawab Faisal sembari memperhatikan Laksmi mengambil kepingan-kepinginan nachos.

Faisal belum juga menjawab kekhawatiran Laksmi. Ketika pertandingan itu berakhir dengan kemenangan tim tuan rumah, Faisal dan Laksmi memilih untuk menggunakan Metro, menuju Washington Harbor yang merupakan dermaga moderen tempat berlabuhnya kapal-kapal layar dan perahu motor pribadi di sungai Patomac. Di sepanjang dermaga tersebut banyak terdapat resto dan Café. Mereka memilih salah satu diantaranya bernama Squoia, sebuah resto yang memilki pemandangan indah ke arah sungai Potomac

“Laksmi….Aku mengerti jika ada kekhawatiran di dirimu tentang sikap Ayahku. Tapi jangan jadikan hal itu sesuatu yang dapat menghalangi hubungan kita.”

“Bukankah restu orangtua itu adalah sebuah keharusan bagi kita, Mas?” Tanya Laksmi.

“Kamu benar, Laksmi. Tapi bukankah sebagai orang yang beriman, kita percaya akan kekuasaan Allah dan taqdir yang telah Dia tentukan bagi kita? Bukankah Allah lebih berkuasa daripada orangtua kita? Bukankah Allah dapat melembutkan hati mereka agar dapat merestui kita?” Jelas Faisal.

Laksmi mengangguk untuk kemudian tersenyum. Ia telah mendapatkan sebuah jawaban yang merupakan kekuatan Faisal selama ini. Jawaban seorang yang dekat kepada Tuhan-nya…..

“Kita hanya perlu berserah diri pada Allah, tapi bukan tanpa niat baik dan usaha yang maksimal. Bukankah kita punya niat baik untuk saling mengenal? Dan kelak dengan izin Allah akan melangkah kepada suatu pernikahan yang sudah menjadi sunatullah bagi setiap manusia. Setiap pekerjaan yang telah diniatkan untuk kebaikan pasti akan Allah uji dengan halangan dan rintangan. Halangan dan rintangan itu bagai sebuah arus yang menghadang. Terpulang kepada diri kita masing-masing, apakah ‘arus’ itu akan kita hadapi atau kita hanyut terbawa olehnya.” Jelas Faisal lagi.

Laksmi merasa lega akan penjelasan Faisal kepadanya. Sesuatu yang tidak disangka-sangka olehnya…Faisal memakai kata ‘Pernikahan’ itu untuk pertama kalinya. Ia hanya bisa merasakan keseriusan yang ada pada diri Faisal terhadap hubungan yang sedang mereka bangun saat ini.

Note:


[1] Memukul bola sekuat-kuatnya yang tidak dapat ditanggap oleh lawan sehingga bola keluar dari tempat permainan. Semua pemain yang berada di lapangan kembali ke tempat asal dan menghasilkan angka.

 

 

 

Bagian ke 7: RAMADHAN di WASHINGTON DC

Awal bulan Ramadhan membawa nuansa baru bagi Faisal. Ia terlibat dalam kegiatan Ramadhan kampus yang diselenggarakan oleh Muslim Student Association GWU[1] tempatnya berkiprah menjadi pengurus selama ini. Sebagai bagian dari panitia penyelenggara, Faisal bersama keempat rekannya bertugas di kelompok Food & Beverages Service yang lingkup kerjanya adalah menyiapkan makanan dan minuman untuk buka puasa. Mereka menyebut acara ini dengan sebutan Together for Iftar yang berarti buka bersama. ‘Iftar’ sendiri adalah sebuah kata dari bahasa arab yang berarti buka puasa.

Setiap hari selama bulan Ramadhan di tahun itu, Faisal bertugas satu jam sebelum buka puasa berlangsung. Ia dan keempat rekannya berasal dari latar belakang budaya dan negara yang berbeda. Selain Faisal yang berasal dari Indonesia, seorang berasal dari Mesir bernama Ayman, dan dua orang mahasiswi berasal dari Pakistan yang bernama Jamella dan Afra. Selain itu ada seorang Amerika yang juga ikut membantu.

Todd Wilson nama pemuda itu. Seorang Amerika kulit putih tulen dan terlahir dari keluarga Katholik yang bersahaja. Ibunya bekerja pada sebuah lembaga Homeless Shelter[2] kepunyaan pemerintah kota Washington DC. Walaupun mereka kuliah di George Washington University, masing-masing mereka berbeda jurusan dan sebelumnya tidak saling mengenal. Hanya Jamella dan Afra yang kuliah di jurusan yang sama yaitu Bisnis. Sedangkan Ayman adalah mahasiswa S-2 Teknik Elektro dan Todd adalah mahasiswa S-1 Ilmu Sosial.

Jasa Todd sangat dibutuhkan sebagai penghubung. Dalam kegiatan ini, panitia banyak mendapat sumbangan makanan dan minuman dari kedutaan besar negara-negara muslim ataupun negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam yang ada di kota Washington DC. Ada juga dua kedutaan negara non muslim yang secara rutin ikut menyumbang makanan halal untuk berbuka puasa yaitu Swedia dan Canada. Panitia mengirimkan surat kepada kedutaan besar negara-negara tersebut tiga minggu sebelum dimulainya Ramadhan dan daftar penyumbang telah terisi penuh beberapa hari sebelum acara berlangsung sehingga dalam menyusun jadwal, Faisal dan rekan-rekannya tak jarang membiarkan dua kedutaan besar menyumbang makanan dan minuman buka puasa pada hari kerja dan tiga kedutaan besar menyumbang di saat akhir pekan. Begitu antusiasnya mereka mengirimkan makanan sehingga banyak dari makanan itu berlebih. Untuk menghindari sesuatu yang mubazir, Faisal beserta rekan-rekannya harus menyumbangkan kelebihan itu kepada Homeless Shelter Washington DC, tempat dimana ibu Todd bekerja.

Acara buka puasa ini dilaksanakan di lantai empat pusat kegiatan kemahasiswaan (student center). Panitia harus menyewa sebuah ruang pertemuan mahasiswa yang bekapasitas besar guna mengantisipasi tamu yang datang. Dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya acara buka puasa ini selalu dihadiri 40-50 orang yang terdiri dari mahasiswa, staff pengajar maupun siapa saja yang berkesempatan untuk datang. Jumlah ini meningkat dua kali lipat di akhir pekan. Pada hari Jumat, Sabtu dan Minggu malam selalu dilaksanakan shalat Isya dan Terawih berjamaah. Sedangkan pada hari-hari biasa acara hanya sampai pada shalat Maghrib berjemaah.

Pukul 16.30 tepat, Faisal dan rekan-rekannya telah berkumpul di ruangan tempat buka puasa berlangsung. Sebahagian anggota panita lain yang berbeda tugas dengan mereka, membersihkan ruangan dan menyusun kursi serta meja. Sedangkan kelompok Faisal menyiapkan peralatan makan dan minum berbahan Styrofoam dan plastik. Mereka meminjam beberapa alat pemanas air untuk membuat teh dan kopi dari cafetaria kampus.

Belum setengah jam mereka berkerja, makanan buka puasa telah datang. Kedutaan Saudi Arabia dan Yamman mendapat giliran untuk menyumbang dihari itu yang diantar langsung oleh staf kedutaan masing-masing. Giliran Jamella dan Afra yang kali ini bekerja untuk menyusun makanan di atas meja. Sedangkan Faisal dan Ayman menyusun botol-botol minuman ringan seperti Coca Cola, Pepsi, Sprite dan lain sebagainya serta menyalakan mesin pemanas air yang akan digunakan untuk membuat teh dan kopi.

Tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul 17.20 yang berarti tinggal lima belas menit lagi waktu berbuka akan tiba. Saat itulah seseorang mengucapkan salam kepadanya.

“Assalamualaikum”  Sapa Laksmi sembari tersenyum. Ia memakai bandana berwarna merah pada pangkal rambutnya dan terlihat cantik. Wajahnya berseri-seri walaupun telah seharian mengikuti internship.

Faisal menoleh ke tempat asal suara tersebut terdengar sembari membalas salamnya, “Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh….Apa khabar?” Jawab Faisal.

“Alhamdulillah baik, Mas…..Aku tadi langsung kemari setelah selesai intership.”

“Hani dan Tara tidak ikut? Tanya Faisal

“Tidak, Mas…Mereka masih terlalu lelah.” Jawab Laksmi.”

Faisal memperkenalkan Laksmi kepada Ayman, Jamella dan Afra serta Todd. Kehadirannya membuat sebahagian besar yang ada di ruangan itu melayangkan pandangan kepadanya. Ia tampil modis mengenakan blouse cerah musim dingin dan rok panjang kotak-kotak yang longgar. Sepasang winter boot melindungi betisnya dan terlihat pas dengan postur tubuhnya yang tinggi. Ketika memasuki ruangan, ia menitipkan mantel, sarung tangan, topi dan syal musim dinginnya pada penjaga loker yang ada di depan pintu masuk. Laksmi berusaha untuk tampil apa adanya di depan Faisal dan tidak terlalu memperdulikan setiap pandangan mata yang tertuju kepadanya.

“Aku harus mengumumkan waktu buka puasa kita hari ini. Silahkan duduk terlebih dahulu” Kata Faisal sembari bergegas ke podium.

“Assalamualaikum…Teman-teman dan para tamu sekalian. Hari ini waktu buka puasa kita adalah pukul 17.34. Silahkan mencicipi hidangan buka puasa yang hari ini sumbangkan oleh Kedutaan Besar Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Yemen.” Faisal mengumumkannya dalam bahasa Inggris yang fasih dan terjaga.

Ketika waktu berbuka tiba, tampak suasana yang sedikit riuh tercipta. Semua berbuka dengan buah kurma dan minuman ringan terlebih dahulu sedangkan makanan utama masih tertutup sampai shalat Maghrib selesai dilaksanakan.

Faisal menjelaskan hal ini kepada Laksmi bahwa sudah menjadi kebiasaan pada zaman Rasulullah Saw. Nabi hanya meminum beberapa teguk air dan memakan tiga kurma untuk kemudian melaksanakan shalat Maghrib.

Tidak sampai lima menit suasana riuh tadi telah berganti dengan suasana hening. Para mahasiswa dan tamu tanpa dikomando telah bersiap dibarisan masing-masing untuk melaksanakan shalat Maghrib. Seorang dari mereka yang telah ditetapkan panitia maju sebagai imam dan seorang lagi melantunkan Iqamah.

Untuk pertama kalinya, Laksmi ikut dalam shalat berjemaah Maghrib itu. Ia berbeda dengan wanita lainnya. Satu-satunya yang mengenakan mukena. Hampir seluruh jemaah wanita yang hadir hanya mengenakan  jilbab mereka sebagai pakaian shalat. Todd terlihat terus menerus memperhatikan dan mencermati dengan seksama setiap gerakan shalat yang sedang dilakukan. Ia berkumpul diantara beberapa wanita-wanita muslim yang sedang ‘berhalangan’ sore itu

Setelah shalat Maghrib selesai dilaksanakan, Faisal dan rekan-rekannya terlihat sibuk membuka makanan utama yang masih tertutup rapat sembari mempersilahkan mereka untuk mengambilnya. Para mahasiswa dan tamu mengantri dengan tertib. Barisan wanita dan pria terpisah dalam antrian. Untuk menjaga agar semua mendapat makanan, Jamella, Afra, Faisal dan Ayman menjatahnya ke setiap piring yang disodorkan oleh mereka yang antri. Setelah semua mendapat bagian, barulah makanan tadi terhidang di meja untuk  dapat diambil siapa saja yang merasa masih kekurangan.

Laksmi amat menikmati peristiwa ini. Ia ingin sekali untuk mengabadikan acara ini dengan kameranya, tapi ia mengurungkan niatnya. Ia takut jika hal itu tidak berkenan bagi yang hadir. Terlebih ia belum menanyakannya pada Faisal. Ia sengaja menunggu Faisal untuk bersantap bersama dan tersenyum saat melihat Faisal sibuk membagi-bagikan makanan kepada para mahasiswa dan tamu. Dalam hatinya ia berucap,

“Begitu mulianya ia…Bersusah payah mengurus orang-orang yang berbuka puasa…”

Kekagumannya tampak jelas di raut wajahnya. Sesekali Faisal meluangkan pandangannya kepada Laksmi yang terlihat tersenyum ke arahnya. Faisal pun tersenyum sekejap untuk kemudian larut kembali dalam pekerjaannya.

Setelah semuanya selesai dibagi-baikan, barulah Faisal dan keempat rekannya ditambah Laksmi mulai menikmati makanan mereka. Perlahan-lahan tamu-tamu yang datang mulai meninggalkan ruangan tersebut. Terlihat makanan yang terhidang tadi masih banyak yang tersisa.

Faisal dan rekan-rekannya mempersiapkan makanan yang tersisa tersebut dalam beberapa wadah untuk disumbangkan ke Homeless Center. Mereka bergerak bersama-sama menggunakan mobil van milik Ayman yang dapat memuat banyak. Hanya Jamella yang tidak dapat ikut malam itu. Ada tugas kuliah yang harus dikerjakannya. Sebagai gantinya Faisal mengajak Laksmi untuk ikut bersama mereka. Laksmi menyetujuinya walaupun tubuhnya terasa lelah setelah kegiatan intership yang baru saja dilaluinya. Ia tidak ingin mengecewakan Faisal dan ingin mengetahui lebih jauh seperti apa orang yang dikaguminya itu bekerja.

Homeless Center itu bernama Community for Creative Non Violence (CCNV) yang beralamat di 2nd Street. Nama-nama Jalan di kota Washington DC sangatlah unik. Jalan-jalan yang dari arah timur ke barat atau sebaliknya diberikan nama-nama abjad seperti M street, N Street, D Street dan seterusnya. Jalan-jalan dari arah utara ke selatan atau sebaliknya diberikan nama-nama angka seperti 1st street, 2nd street dan seterusnya. Sedangkan jalan-jalan utama yang melintang ditengah kota diberi nama dengan nama-nama negara bagian seperti Massachusetts Avenue, Virginia Avenue dan lain sebagainya. Dua jalan yang menghubungkan symbol-simbol pemerintahan seperti Capitol Building, White House, Washington Monumen dan Lincoln Memorial diberi nama Constitution Avenue dan Independence Avenue.

CCNV adalah homeless shelter terbesar di kota DC dengan lebih 1.000 tempat tidur yang diperuntukkan bagi tunawisma yang membutuhkan tempat perlindungan dari cuaca musim dingin yang sangat menggigit. Suasana ‘Shelter’ itu begitu ramah dan bersahabat.

Mereka memasuki gedung tersebut dari arah pintu utama. Faisal dan Todd membawa kotak kardus wadah dimana makanan-makanan tadi diletakkan. Sedangkan Afra dan Laksmi mengikuti dari belakang. Sementara itu Ayman memarkirkan kendaraannya disamping gedung.

Todd berbicara sebentar dengan Receptionist yang mengarahkan mereka untuk langsung menuju dapur dimana makanan-makanan tadi akan diolah kembali menjadi makanan utuh sebelum disajikan kepada para tunawisma yang membutuhkannya. Dapur tersebut berhubungan langsung dengan ruang makan yang tampak sangat luas. Ada beberapa tunawisma yang sedang duduk di tempat itu dan bersantap malam. Laksmi dan Afra menunggu di salah satu meja sembari duduk dan memperhatikan keadaan disekelilingnya. Tak lama kemudian Ayman datang menyusul mereka dan duduk di mana Afra dan Laksmi berada. Mereka semua menunggu Todd dan Faisal kembali dari dapur untuk menyerahkan sumbangan tersebut.

Tak lama kemudian, Faisal dan Todd keluar dari dapur dan menuju counter dimana seorang petugas penerima berada. Mereka harus mengisi formulir yang menerangkan dari mana makanan-makanan tersebut berasal. Manajemen ‘Shelter’ sangat peduli terhadap keamanan makanan yang dikonsumsi oleh para tunawisma. Mereka tidak mau sembarangan dalam menerima makanan yang disumbangkan tanpa tahu asal muasal makanan. Faisal meminta Todd yang mengisinya dan menunggu di sisinya. Saat itulah seorang wanita tunawisma tua mendekatinya dan bertanya kepadanya,

“Wajah anda terlihat asing, darimana anda berasal?” Tanyanya.

“Indonesia” Jawab Faisal ramah.

“Are you a Moslem?” Tanyanya lagi.

“Benar” Jawab Faisal.

“Bukankah orang-orang muslim itu suka membunuh?” Tanyanya lagi.

Faisal tersenyum dan berkata,

“Mungkin yang anda lihat adalah orang-orang yang berpakaian seperti orang muslim tapi mereka bukan muslim….Orang-orang muslim adalah orang-orang yang selalu menolong siapa saja seperti yang kami lakukan untuk anda malam ini. Kami mengantarkan sebahagian makanan kami untuk bisa anda nikmati.” Jawab Faisal tangkas.

“Betulkah itu?….Anda tidak berpakaian seperti orang muslim, anda mengaku muslim dan anda datang membawa makanan untuk kami?” Tanya wanita tua itu.

“Benar” Jawab Faisal.

“Praise to Lord!” Jawabnya sembari mendekati Faisal dan berusaha memeluknya. Faisal membiarkan tubuhnya untuk dipeluk oleh wanita tua itu. Semerbak bau bercampur menusuk hidungnya. Ia tidak memperdulikannya. Todd memperhatikan keduanya dengan wajah penuh keheranan. Demikian juga Laksmi yang duduk tak jauh dari situ.

“Apa yang mereka perbincangkan sampai-sampai wanita tua itu memeluknya? Ada apa dengan sosok seorang Faisal? Kenapa semua orang begitu menyayanginya?” Tanya Laksmi dalam hati.

Ketika mereka sampai kembali di kampus, Faisal berjanji untuk mengantarkan Laksmi pulang dengan berjalan kaki. Todd meminta waktu untuk bicara dengannya sebentar. Faisal menganggukkan kepalanya.

“Aku memperhatikan dan mendengar dialogmu dengan wanita tua tadi. Sebuah pertanyaan menggelitik dibenakku yang ingin aku tanyakan.”

“Sure…Go ahead” Jawab Faisal. Laksmi berdiri disampingnya tersenyum.

“Bukankah Tuhan orang Islam itu membenci kekafiran?” Tanyanya

Ini tahun kedua Todd mengikuti kegiatan buka bersama dan bertugas sebagai penghubung. Sejak tahun lalu , ia mulai tertarik untuk mempelajari Islam dan mengambil beberapa mata kuliah mengenai keislaman di George Washington University. Ia mempunyai sebuah Al Quran terjemahan bahasa Inggris yang selalu dibacanya dengan seksama. Ia selalu berdiskusi dengan siapa saja baik dari kalangan mahasiswa Islam di kampus maupun dari seorang guru besar George Washington University dalam bidang perbandingan agama yang cukup disegani, Dr. Ahmad Rashid Khan.

Faisal berkata kepadanya, “Todd, apakah engkau membawa Al Quran terjemahanmu? Aku ingin menunjukkan sesuatu kepadamu”

Todd membuka tasnya dan mengambil Quran tersebut sembari menyerahkannya pada Faisal. Faisal membukanya dengan hati-hati dan menunjukkan kepadanya sebuah ayat yang tertera di dalamnya.

“Maka disebabkan rahmat Allah lah kamu bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka. Mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan duniawi. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali Imran [3]:159)

Faisal menjelaskan kepadanya bahwa itu adalah salah satu sifat Rasulullah Saw dalam menghadapi para pengikut Nabi dan manusia-manusia non muslim yang hidup bersamanya di kota Madinah. Suatu sifat yang penuh dengan kelembutan yang Nabi dapatkan dari didikan Tuhan-nya melalui ujian hidup.

Faisal berkata, “Allah memberi ujian kepada manusia dalam hidupnya dengan kesenangan, kesusahan, kesempitan, kelapangan, sehat dan sakit semuanya adalah untuk mendidik mereka menjadi hamba-hamba-Nya yang mulia. Dan kenyataan itu terlihat pada diri Rasulullah Saw. Ia menjadi manusia mulia karena kepatuhan atas apa yang diperintahkan Allah kepadanya dan kesabaran serta keikhlasan dalam menghadapi segala ujian kasih sayang Allah. Dimulai dari ayah Nabi yang wafat sebelum Beliau dilahirkan, dibawa jauh dari ibu nya untuk disusukan kepada wanita dusun, tidak mengeyam pendidikan membaca dan menulis, hidup dalam naungan kakek dan pamannya, menjadi pengembala, belajar berdagang sampai menjadi saudagar yang kaya raya tapi miskin dalam hal bathin hingga menjadi miskin dalam hal harta tapi kaya bathin karena membawa risalah agama Allah, serta dilecehkan dan disakiti oleh para penentangnya.”

Faisal melanjutkan uraiannya, ”Jika kita ikhlas terhadap apapun yang Allah tetapkan, maka hal itu akan berpengaruh pada jiwa dan bermuara pada akhlak mulia yang membawa kedamaian bagi orang-orang disekitar kita. Kita akan menjadi penyabar, rendah hati, pemaaf dan ikhlas. Hak hidup ini adalah milik Allah dan kita dituntut untuk melakukan segala kebaikan dalam mengisinya untuk kemudian mempertanggungjawabkannya kelak dihadapan-Nya.”

Todd lama terdiam mendengar penjelasan Faisal. Demikian juga Laksmi yang mendengar dan memperhatikan semua itu. Kekaguman Laksmi semakin bertambah. Ia bagai menemukan muara hatinya selama ini. Begitu gamblangnya Faisal menjelaskan makna hidup yang sebenarnya bagi seorang manusia bahwa seseorang tiada pernah luput dari ‘ujian’ yang membawanya pada kemuliaan dirinya sendiri.

Todd mengucapkan terima kasih dan selamat malam sebelum mereka berpisah. Faisal dan laksmi berjalan kaki menuju Fullerton House tempat dimana Laksmi tinggal. Udara DC cukup cukup dingin malam itu dengan suhu udara masih saja beberapa derajat dibawah nol.

“Sungguh sebuah penjelasan yang lugas.” Ungkap Laksmi membuka pembicaraan.

Faisal hanya tersenyum dan menoleh kepada Laksmi.

“Aku hanya ingin menjelaskannya semampuku agar ia dapat mengerti dengan baik.” Jawab Faisal.

“Aku benar-benar terkesan pada penjelasan yang mas Faisal sampaikan kepada Todd barusan dan apa yang terjadi dengan wanita tua di Homeless Shelter tadi. Hal itu membuatku tersadar bahwa segala ibadah yang mas Faisal lakukan ternyata berbuah pada akhlak mulia yang ada pada diri mas Faisal sendiri.”

Mereka sama-sama tersenyum dan melanjutkan langkah mereka kembali menyusuri jalan yang mulai sepi dari kegiatan manusia. Laksmi berjalan sembari melipatkan tangan kebahunya sendiri, menahan dingin yang tak biasa ia rasakan.

“Menjalankan ibadah itu baru setengahnya, Laksmi….dan setengah yang lain berkaitan dengan ujian hidup. Aku telah menjelaskannya beberapa hari yang lalu kepadamu. Masih ingat kan?”

“Tentu, Mas. Aku telah mendapat pelajaran yang sungguh berharga dalam beberapa hari ini. Aku sangat berharap mas Faisal tidak bosan-bosan untuk terus membimbingku……”  Ungkap Laksmi sembari memandang ke arah Faisal. Ada jeda kata yang tidak sanggup diteruskan olehnya.

“…..Aku telah menemukan kembali Tuhan-ku. Aku telah merasakan kembali kehadiran Allah yang selama ini aku abaikan. Aku amat bahagia……” Ungkap Laksmi.

Semburat keceriaan amat mewarnai wajah Laksmi malam itu. Tanpa tersadar, langkah mereka harus terhenti di depan Fullerton House dimana Laksmi tinggal.

“Hari sudah terlalu malam untuk kita, aku pamit”  Jawab Faisal sembari mengucapkan salam.

ooOOOoo

Ketika shalat Jumat itu akan ditunaikan pada hari ke-19 Ramadhan di Student Center GWU, Faisal dan teman-temannya dari Moslem Student Association menjadi saksi sebuah peristiwa yang amat membahagiakan. Lebih dari seratus lima puluh jemaah shalat  telah hadir dan Todd Wilson adalah salah satu diantaranya. Sebelum khutbah Jumat dimulai, Todd bersaksi dengan ber-syahadat bahwa ia menjadi seorang muslim.

Dalam sambutannya setelah Shalat Jumat usai, ia mengatakan bahwa satu pertanyaan besar dalam hidupnya telah terjawab. Ia kini hanya menyakini Tuhan Yang Esa.

Dalam sambutannya itu pula, Todd menyampaikan terima kasih nya kepada Faisal yang selama ini telah menjadi teman diskusi yang baik sehingga ia dapat memahami agama Islam dengan baik dan benar. Todd berkata:

“Dalam pandangan saya sebelumnya, Islam adalah sebuah agama yang penuh dengan kekerasan tapi sahabat saya Faisal telah berbuat sesuatu yang mampu untuk mengubah pandangan saya. Ia telah berbuat sesuatu yang menjadikan Islam terlihat begitu indah dimata saya.”

Todd lalu bercerita tentang sebuah peristiwa yang terjadi di Homeless Center beberapa waktu lalu. Sebuah dialog yang melibatkan Faisal dengan seorang wanita tunawisma. Dengan dialog itu pula ketertarikan Todd kepada Islam semakin tak terbendung dan akhirnya ia memutuskan untuk masuk Islam.

Note:

[1] Muslim Student Association adalah perkumpulan mahasiswa muslim dari berbagai negara. Tidak dibedakan antara jenjang S-1 dan S-2

[2] Rumah penampungan sementara tunawisma di kota Washington DC. Biasanya rumah penampungan ini hanya ditempati oleh para tunawisma di saat matahari akan terbenam sampai dengan matahari terbit di pagi hari

 

 

 

Bagian ke 6: SEBUAH PENGAKUAN

Salju turun sangat deras Jumat sore itu yang menyebabkan seluruh aktivitas kota hampir lumpuh. Prakiraan cuaca menyebutkan bahwa kota Washington DC akan diguyur hujan salju sepanjang malam. Toko-toko terlihat tutup menjelang matahari terbenam. Acara buka puasa di kampus dibatalkan karena keadaan yang tidak memungkinkan. Faisal dan Ayman, yang keduanya merupakan anggota panitia dari Muslim Student Association menghubungi kedutaan besar Malaysia dan Brunei Darrusalam. Kedua kedutaan besar ini yang berniat untuk menyumbang makanan berbuka puasa sore itu. Seluruh aktivitas kampus ditutup pada pukul 17.00 sore dan kampus berangsur-angsur sepi dari segala hiruk pikuk kehidupan akademia. Transportasi umum seperti bus, taxi dan Metro tetap beroperasi tapi dalam jumlah yang terbatas.

Faisal menghubungi Laksmi ke nomor telepon apartmennya, tapi mesin penjawab yang menyapanya. Ia meninggalkan pesan agar Laksmi tidak datang ke kampus sore itu untuk acara berbuka puasa dan sekaligus membatalkan rencana mereka untuk pergi ke district Georgetown dimana toko buku Barnes and Noble berada.

Faisal bersiap untuk pulang ke studio apartment nya yang tak jauh dari kampus dengan berjalan kaki.  Ia sedikit bimbang sebelum melangkah disebabkan gumpalan-gumpalan salju cukup tebal menutupi seluruh permukaan kota. Sejauh mata memandang hanya hamparan putih yang menutupi. Ia abaikan rasa khawatirnya itu. Dengan memanggul tas ransel kuliahnya, ia melangkah menebus gumpalan salju. Kabut menyeruak menutupi sebahagian pandangannya. Di tengah jalan, rahang pipinya terasa kram tak dapat digerakkan. Suhu udara yang teramat dingin menyebabkan aliran darah di sekitar wajahnya kaku walaupun selembar syal tebal telah melilit lehernya disertai dengan mantel musim dingin yang membungkus tubuh. Demikian pula topi musim dingin yang menutup sebahagian besar kepala dan telingannya.

Faisal berjalan tergopoh-gopoh sembari menahan rasa sakit yang telah melumpuhkan hampir seluruh wajah nya itu. Ia tak kuat menahannya dan berusaha mencari tempat berlindung sementara. Ia berusaha mencari kalau-kalau ada toko yang masih buka yang dapat menjadi tempatnya berlindung. Terlihat olehnya dari jarak sekitar 20-an meter sebuah toko bunga yang masih menyalakan lampu. Ia menuju ke arahnya dan mendapatkan kata “CLOSED” di depan pintunya. Sakit yang tak tertahankan membuat Faisal tetap mendekatinya dan melihat ke arah dalam toko. Beberapa orang masih berada di dalamnya. Ia mengetuk pintunya beberapa kali. Seorang wanita membukanya dan mengatakan kepadanya bahwa toko telah tutup. Faisal tidak dapat berbicara sama sekali. Ia menunjuk rahangnya dengan jari telunjuknya dan memohon dengan bahasa isyarat agar ia dapat masuk ke toko sebentar menghangatkan badannya. Sang pemilik mempersilakannya masuk.

Pemilik toko itu mengambilkan air panas dan handuk penyeka yang dapat dipakai sebagai kompres untuk memulihkan kram pada rahang Faisal. Ia juga membuatkan teh panas dan menyuguhkannya kepada Faisal.

Tak berapa lama kemudian kram yang dirasakannya berangsur pulih. Faisal dengan santun berkata,

“Aku sedang berpuasa” Jawabnya.

Ia sedikit terkejut. “Puasa apa?” Tanyanya.

“Aku seorang muslim dan saat ini adalah bulan Ramadhan yang mewajibkan kami berpuasa” Jawab Faisal.

Pemilik toko itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya sembari berkata,

“Bukankah kesehatan anda lebih penting?”

“Sebentar lagi matahari akan terbenam dan saya akan berbuka. Saya tidak ingin mengorbankan ibadah saya yang sebentar lagi akan berakhir.” Jawab Faisal.

Ia menggelengkan kepalanya dan berkata, “Perkenalkan nama saya Anne Warren. Saya banyak membaca dan mempelajari tentang Islam. Adik laki-laki saya memutuskan untuk menjadi seorang muslim setelah bertugas di perang teluk[1] beberapa tahun yang lalu. Saya pemilik toko bunga ini.”

“Terima kasih banyak. Mohon maaf saya telah merepotkan anda di sore ini. Keadaan saya sudah pulih kembali berkat pertolongan anda dan saya harus melanjutkan perjalanan saya.” Jawab Faisal.

“Dimana anda tinggal” Tanyanya.

“Apartment Savoy di New Hampshire Avenue….Tak jauh dari sini.” Jawab Faisal.

“Oooh my goodness…Ternyata kita bertetangga. Saya tinggal di Condominium di seberang jalan…Winston House.” Kata Anne lagi.

Faisal tersenyum mendengarnya dan kembali mengucapkan terima kasih atas pertolongan yang diberikan Anne Warren kepadanya.

“Semoga anda cepat pulih…” Kata Anne lagi ketika Faisal memohon diri sembari mengucapkan terima kasih untuk kesekian kalinya. Ia bergegas meninggalkan toko bunga tersebut untuk mengejar waktu berbuka yang sebentar lagi akan tiba.

Satu hal yang membuat Faisal merasa senang tinggal di DC adalah warganya yang ramah dan suka menolong. Hampir tak ada hambatan yang menghalanginya untuk beradaptasi dengan penduduk setempat. Ia melaluinya dengan mudah dan menikmati hari-harinya selama tinggal di ibukota negara Amerika itu.

 ooOOOoo

Akhir pekan itu merupakan akhir pekan terburuk yang pernah dilalui warga Washington DC selama sepuluh tahun terakhir. Hujan salju terus menerus turun dengan lebat sepanjang Jumat sore hingga Sabtu siang keesokan harinya disertai angin yang berhembus dengan kencang. Suhu udara drop hingga minus dua puluh derajat dibawah nol. Salju bertumpuk dimana-mana hingga puluhan centimeter tebalnya yang menyebabkan aktivitas kota lumpuh. Tidak ada toko yang buka sepanjang hari Sabtu. Cuaca yang cukup ekstrem ini juga sangat mempengaruhi jadwal transportasi darat dan udara yang tidak beroperasi sepanjang hari. Faisal hanya mengandalkan makanan yang masih ia miliki di lemari pendingin apartemennya. Demikian juga dengan Laksmi yang memilih untuk tidak keluar apartmennya sepanjang hari Sabtu. Mereka hanya berhubungan melalui telepon bertukar khabar akan keadaan masing-masing.

Keadaan telah membaik di hari minggu. Matahari tampak kembali bersinar terik dan langit terlihat cerah kebiruan tanpa gumpalan awan yang tampak berarak. Hanya tumpukan salju yang masih berada di mana-mana. Petugas kebersihan kota sibuk dengan kendaraan-kendaraan penyapu salju membersihkan tumpukan-tumpukan salju yang menghalangi jalan-jalan utama kota maupun trotoar pejalan kaki. Butiran-butiran kristal putih berupa garam ditebar dimana-mana guna mempercepat mencairnya salju.

Hari yang cerah itu dimanfaatkan oleh Faisal untuk keluar dari apartemennya menghirup udara segar dan menghilangkan kepenatan yang telah dua hari ini merasuk tubuhnya. Dua hari ini pula ia harus mendekam di studio apartment-nya dengan pemanas ruangan yang dengan cepat membuat kulit kering. Ia mendengar laporan cuaca di salah satu saluran TV bahwa cuaca akan cerah sepanjang hari Minggu dengan suhu udara sekitar 5-10 derajat celcius. Ia amat bahagia mendengarnya. Ia bersiap-siap untuk keluar dengan membawa kanvas lukis yang masih kosong. Ia berniat untuk membuat sketsa pemandangan di sekitar Lincoln Memorial[2] setelah peristiwa badai salju terjadi. Ia menyiapkan alat-alat sketsa yang  diperlukan dan memasukkannya ke dalam tas Ransel nya sedangkan Canvas berukuran 40x60cm itu di jinjingnya.

Faisal memiliki bakat dalam seni. Selain membaca dan membuat puisi yang menjadi bagian kehidupannya sejak kecil, ia mendapati dirinya berbakat dalam hal melukis dan mulai tekun mempelajari teknik melukis disaat ia duduk dibangku kelas satu SMA. Ia beruntung menjadi murid dari seorang guru kesenian sekolahnya. Seorang seniman lokal yang amat berbakat dalam hal melukis. Pak Saleh, begitu ia memanggilnya. Pak Saleh pernah mengatakan sesuatu hal pada Faisal yang selalu diingatnya sampai saat ini,

“Seniman tidak pernah hidup dalam tumpukan harta, tapi ia hidup dalam tumpukan kedamaian”

Ia menganggumi sosok kebapakan yang dimiliki pak Saleh. Faisal juga selalu ikut berperan dan terlibat dalam acara pameran lukisan karya pak Saleh yang diselenggarakan secara tunggal ataupun bersama rekan-rekannya. Tidak hanya dalam hal lukisan, tapi juga karya-karya puisi yang dibuat oleh Faisal merupakan bahan diskusi bagi mereka. Biasanya pak Saleh akan membacanya dengan seksama dan memberi masukan kepada Faisal hal-hal yang harus dilakukannya agar kara-karyanya itu lebih baik.

“Karya puisi itu harus memiliki roh agar hidup dan menjiwai…”  Begitu salah satu pesan pak Saleh

Ketika Faisal sampai, tidak banyak pengunjung berada di Lincoln Memorial siang itu. Matahari bersinar terik. Beberapa turis duduk berjemur di tangga menuju bangunan tempat patung besar Abraham Lincoln berada. Monumen ini dibangun untuk mengenang jasa presiden Amerika yang pada saat pemerintahannya terjadi perang saudara. Perang tersebut hampir saja membelah kesatuan negara Amerika Serikat. Ia berhasil menyelamatkan negaranya dari perpecahan walaupun akhirnya dirinya menjadi korban pembunuhan di sebuah gedung theater di Washington DC.

Faisal berusaha mencari objek sketsa yang menarik hatinya. Pemandangan ke arah Washington Monument dan gedung Capitol yang berada di depan tangga tempatnya berdiri cukup baik untuk ditorehkan dalam bentuk sketsa, tapi ia mencari objek yang lebih spesifik. Ia memandang sebentar ke sekeliling tempat itu dan akhirnya berpindah ke arah belakang bangunan Lincoln Memorial menghadap ke arah sungai Patomac. Ia menemukan sebuah objek yang unik. Jembatan Arlington Memorial yang membelah sungai Patomac yang sedang membeku. Jembatan itu terlihat berwarna abu-abu keputihan tertutup salju puluhan centimer yang belum dibersihkan. Ia duduk di tangga untuk kemudian mengeluarkan peralatan sketsanya. Ia mulai bekerja dan larut dalam kegiatannya.

Tak terasa setengah jam lebih ia telah berada disana. Ia hampir menyelesaikannya. Orang-orang yang lalu lalang memperhatikannya. Terkadang segelintir dari mereka memuji apa yang dilakukannya itu. Ia hanya tersenyum sebentar, untuk kemudian kembali larut dalam pekerjaannya…..sampai seseorang memanggil namanya.

“Mas Faisal…..”

“Laksmi…” Jawabnya.

“Kok disini?” Tanya Laksmi.

Faisal berdiri dan tersenyum sembari menjawab, “Aku hanya ingin menghirup udara luar sambil melakukan sesuatu…”

“Mas Faisal melukis?” Tanya Laksmi tidak dapat menyembunyikan keingintahuannya.

“Rencananya demikian…Tapi saat ini hanya membuat sketsanya terlebih dahulu. Aku tertarik dengan objek disini…lagipula udara pagi ini sangat mendukung….” Jawab Faisal.

“Boleh aku lihat?” Tanyanya lagi.

Faisal tersenyum dan menyodorkan kanvas yang telah penuh dengan coretan sketsa ke arah Laksmi. Laksmi memperhatikannya dengan seksama. Faisal berusaha mendekat kepadanya dan menerangkan akan obyek yang sedang jadi tumpuan pekerjaannya itu. Mereka duduk berdampingan. Tak pernah keduanya duduk sedekat saat ini.

Laksmi sangat antusias dalam mendengar penjelasan Faisal. Saat ia tersenyum mengembang, terlihat lesung pipitnya. Dan saat ia tertawa, terlihat giginya yang rata dan tersusun rapi.

Kecantikan Laksmi terlihat  alami. Matahari yang bersinar terik membuka tabir kecantikan wajahnya. Ia tidak mengenakan sedikitpun make up. Hanya sekedar pelembab bibir.

“Bagus sekali…” Kata Laksmi.

“Baru hanya sketsanya. Insya Allah, aku akan mulai mewarnainya dengan cat minyak malam ini. Mudah-mudahan dalam dua atau tiga hari ke depan sudah selesai.”  Jawab Faisal.

“Mas Faisal belajar melukis sejak kapan?” Tanya Laksmi lagi

Faisal bercerita kepadanya perihal perkenalannya dengan pak Saleh dan bagaimana sosok idolanya itu membimbingnya untuk menjadi seorang seniman dadakan. Meluangkan sedikit dari waktu senggangnya untuk melukis.

“Aku merasa penat di apartement…Terlebih Tara dan Hani hanya ingin pergi ‘shopping’ pagi ini. Aku memilih tidak ikut dan ingin mencari sesuatu sebagai objek foto ku.” Jawab Laksmi memberi penjelasan kenapa ia berada di tempat yang sama.

“Aku selalu suka objek jembatan. Jembatan adalah sebuah penghubung bagi urat nadi kehidupan. Objek yang penuh dengan cerita dan makna.”  Jelas Laksmi lagi.

“Mas Faisal kenapa memilih tempat ini? Tanyanya.

“Aku suka tempat ini, Laksmi. Aku sering kesini terlebih jika cuaca sedang bagus. Saat ini aku hanya ingin melukisnya dalam suasana musim dingin yang tidak seperti biasanya.” Jawab Faisal.

“Silahkan menyelesaikan sketsanya, Mas. Aku akan mengambil beberapa foto lagi.” Ungkap Laksmi.

Laksmi bangkit dari tempat duduknya dan turun melalui tangga menuju kearah bawah sembari membawa kamera Nikon yang sedari tadi dipegangnya. Ia mulai menemukan objek pilihannya dan mengambil beberapa foto. Faisal berusaha menyelesaikan sketsa akhirnya. Tanpa disadari oleh Faisal, Laksmi mengambil beberapa foto diri Faisal yang sedang serius mengerjakan lukisannya.

Ketika Faisal menyelesaikannya, Ia melontarkan pandangan ke arah Laksmi yang masih sibuk dengan kameranya. Ia terus memperhatikan sampai akhirnya Laksmi memandang ke arahnya dengan tersenyum. Laksmi mengarahkan kameranya kembali kepada Faisal. Tahu bahwa dirinya dijadikan objek foto, Faisal terlihat salah tingkah. Laksmi mengacungkan jempolnya tanda sebuah foto bagus telah berhasil dibuatnya.

Laksmi kembali ke anak tangga dimana Faisal duduk. Ia memasukkan kameranya kembali ke dalam tas peralatan. Faisal memperhatikannya.

“Selesai?” Tanya Faisal.

Laksmi menghela nafas lega dan berkata., “Ya…Bagaimana dengan mas Faisal?”

“Aku sudah selesai” Jawab Faisal.

“Mas Faisal punya waktu untuk kita bicara sebentar?” Tanya Laksmi lagi.

“Tentu” Jawab Faisal.

“Ada yang ingin aku tanyakan ke Mas Faisal. Pertanyaan ini sebenarnya ingin kutanyakan ketika kita bertemu di Starbuck Café beberapa waktu yang lalu tapi belum kesampaian.” Jelas Laksmi.

“Yah…Aku ingat. Saat itu Tara datang dan mengajak kita pulang.” Jawab Faisal.

“Benar….Pertanyaan ini selalu menggantung dipikiranku. Aku telah menanyakannya ke beberapa orang yang aku yakin memiliki pengetahuan agama yang baik tapi aku belum mendapatkan jawaban yang pas.” Jelas Laksmi.

Faisal hanya menganggukkan kepalanya dan diam tanpa berkata apapun. Laksmi melanjutkan,

“Aku bukan seorang yang menjalankan ritual ibadahku dengan baik…..walaupun dahulu ketika SD dan SMP, aku bersekolah di perguruan Muhammadiyah Jogja. Bapak ku tidak pernah memaksaku untuk melaksanakan shalat dan tidak pernah mencontohkannya padaku. Ia sendiri tidak melaksanakan kewajiban agamanya dengan baik walaupun mengaku beriman. Hal yang mendatangkan sikap apatisme pada diriku. Aku merasa bahwa shalat itu tidak penting dan selalu berpikir bahwa yang terpenting dalam hidup ini adalah berbuat baik.”

“Bapakku mengajariku untuk selalu bersikap jujur dan berbuat baik kepada siapa saja. Ia pernah berkata bahwa inti dari ajaran Islam itu adalah adil, jujur dan berbuat baik. Dan hal itu menjadi semacam doktrin bagi diriku. Tapi dari apa yang kupelajari dan kumengerti, hal itu belumlah cukup. Kita tidak akan masuk surga sebelum menjalankan shalat, puasa, zakat dan haji. Kita harus melakukannya. Pertanyaanku adalah bagaimana memaksa diri kita untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban seperti shalat atau puasa itu? Aku selalu merasa bersalah dengan sikapku selama ini. Sebagai seorang muslim, sudah seharusnya aku melakukan kewajibanku tapi selalu ada saja kendala yang membuatku enggan melakukannya.”

Faisal tersenyum dan berkata, “Kita tidak dapat memaksa diri kita untuk melakukannya. Semua itu karena kebutuhan diri. Tanpa merasa butuh, kita tidak akan pernah melakukannya.”

“Kalau begitu ada manusia yang membutuhkan Tuhan dan ada yang tidak, tergantung dari kebutuhannya?” Tanya Laksmi lagi.

“Tidak demikian, Laksmi.”

Masih dalam intonasi suaranya yang datar, Faisal melanjutkan, “Setiap manusia mempunyai hubungan yang amat dekat dengan Tuhan nya. Ia selalu membutuhkan Tuhan sebagaimana ia membutuhkan air untuk melepas dahaganya. Cuma terkadang manusia tidak tahu cara berhubungan dengan Sang Pencipta nya. Seseorang akan meminum air ketika haus, bukan meminum pasir karena pasir tidak akan pernah menghilangkan dahaganya.”

Faisal melanjutkan, “Kita mungkin bertanya, kenapa seseorang harus menyembah patung, pohon beringin dan segala macam bentuk visualisasi dari Tuhan. Bukankah Tuhan itu tidak pernah dan tidak akan pernah terlihat? Jawabannya adalah karena manusia tidak mengerti cara berhubungan dengan Tuhan-nya. Mereka lebih memilih meminum pasir untuk menghilangkan dahaganya daripada air.”

“Tapi itu belum menjawab pertanyaanku” Tanya Laksmi.

“Kenapa seorang Laksmi merasa bersalah saat ia tidak mengerjakan kewajiban shalat nya?”  Guratan senyum lebar Faisal mengiringi pernyataan ini disambut tawa renyah Laksmi.

Faisal melanjutkan, “Karena manusia itu pada dasarnya membutuhkan Tuhan  dan yakin akan adanya Tuhan. Sebahagian dari manusia berkata bahwa cukuplah kita percaya pada Tuhan dan berbuat baik kepada manusia lain. Apa memang benar demikian? Ketika ia dalam kesulitan, kenapa ia masih berdoa, memohon kepada Tuhan? Meminta pertolongan dan jalan keluar akan segala kesulitannya?”

“Islam mengajarkan kepada kita bagaimana cara berhubungan dengan Tuhan secara benar sehingga kita berada di sebuah jalan kehidupan yang dipenuhi dengan kebaikan.”

“Kalau begitu kenapa harus ada ujian hidup?” Tanya Laksmi lagi.

“Kalau kita mengaku yakin akan kekuasaan Allah, menyembah-Nya, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Bukankah kita akan disebut sebagai orang yang bertaqwa?”  Tanya Faisal.

Laksmi menganggukkan kepalanya.

“Ujian hidup itu sebenarnya adalah ujian kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Orang yang bertaqwa pasti diuji kadar ketaqwaannya agar terbukti bahwa ia benar-benar bertaqwa. Bukan gadungan. Allah ingin menyaring siapa dari hamba-hamba-Nya yang benar bertaqwa dan mana yang tidak dengan mengujinya terlebih dahulu di dunia ini. Dan ujian itu sebenarnya adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri. Setiap ujian pasti memiliki hikmah yang terkandung di dalamnya. Ketika hikmah itu terkuak, sang hamba akan mengucapkan syukur dan pada akhirnya akan lebih mencintai Allah yang berarti semakin bertambah kadar ketaqwaannya kepada Allah SWT.”   Jelas Faisal.

Ada jeda yang panjang setelah jawaban Faisal. Mereka larut dalam pikirannya masing-masing. Sampai akhirnya Faisal melontarkan sebuah pertanyaan yang mengagetkan Laksmi

“Adakah seseorang sedang menunggumu saat ini, Laksmi?”

Laksmi seolah tidak percaya akan apa yang baru didengarnya. Ia berusaha menguasai dirinya dan tersenyum. Dengan perlahan ia menggelengkan kepalanya untuk kemudian merunduk memeluk lututnya. Ia berusaha untuk tidak memandang kepada Faisal walaupun ada sejumput senyum yang terus mengembang di wajahnya. Faisal memandangnya tanpa melakukan apapun.

“Bolehkah aku menunggumu, Laksmi?” Tanya Faisal lagi.

“Bukankah hal ini terlalu cepat untuk kita, Mas?” Tanya Laksmi.

“Aku juga merasakan hal yang sama. Mungkin hal ini terlalu cepat untuk kita tapi yakinlah semua ini sudah termasuk dalam skenario yang Allah tetapkan.  Allah yang telah mempertemukan kita disini….sampai hari ini….Sebaiknya kita jalani saja apa adanya sebagai sebuah proses yang menguatkan.” Jelas Faisal.

Lama keduanya terdiam memandang ke arah sungai Patomac yang membeku. Aktivitas di atas jembatan Arlington Memorial semakin mewarnai denyut nadi kehidupan kota yang mulai tampak kembali bergeliat setelah lumpuh  dua hari sebelumnya. Laksmi tak ingin mengatakan apapun saat itu. Perasaannya campur aduk. Ia amat bahagia akan pernyataan Faisal yang baru saja didengarnya. Ia tersanjung dan merasakan kedamaian dalam hatinya. Allah telah mempertemukannya dengan seorang yang baik. Disisi yang lain, ia masih takut akan kegagalan yang pernah mewarnai hidupnya yang menyebabkan perih yang tersimpan dalam lubuk hatinya yang paling dalam.

“Ada banyak hal yang harus kamu ketahui dariku dan hal itu tidak akan pernah mudah untuk diungkapkan…” Kata Faisal.

“Maksud Mas?” Tanya Laksmi sembari merunduk memainkan gumpalan salju dengan jarinya yang berada di samping lutut kakinya.

“Masing-masing dari kita memiliki masa lalu yang terkadang hal itu sungguh menakutkan untuk kita buka kembali. Tapi ingatlah, terimalah masa lalu itu sebagai bagian dari diri kita masing-masing. Tidak untuk diperdebatkan dan tidak untuk dikenang…” Jelas Faisal.

Saat itulah Faisal melihat tetesan air mata itu. Bulir-bulirnya jatuh tak tertahankan membasahi  wajah Laksmi. Ia berusaha tidak memandang kepada Faisal.

“Ada apa Laksmi?”

“Mas Faisal, Maafkan aku jika harus mengatakannya kepadamu…..” Kalimatnya terhenti dan Faisal berusaha sabar menantinya.

“Aku pernah mencintai dua orang laki-laki. Dan keduanya berakhir dengan tidak baik. Yang pertama meninggalkanku tanpa sebab yang jelas dan yang kedua…..”  kalimat Laksmi kembali terhenti sebelum akhirnya melanjutkan.

“Aku pergi meninggalkan Bapakku untuk bersama dengannya beberapa hari. Kami berencana untuk menikah secara diam-diam….Kami tinggal di rumah Bibinya di Purwokerto dan hal itu terjadi saat semester akhirku di UGM.”

“Bapakku tidak pernah menyetujui hubungan kami dan aku berusaha untuk menentangnya walaupun selama ini kami tidak pernah berselisih paham. Aku merasa sangat bodoh saat itu. Mengikuti segala keinginan lak-laki yang mencintaiku untuk lari dan meninggalkan orang yang kusayangi dan sekaligus kukagumi….Bapak ku.”

Laksmi menyeka wajahnya yang masih dibasahi dengan airmata dan meneruskan kisahnya.

“Akhirnya Bapakku menemukanku dan menjemputku ke Purwokerto. Ia mengajakku bicara dan bercerita kepadaku tentang masa lalunya:

Laksmi….engkau sudah dewasa saat ini dan bisa memutuskan jalan hidupmu sendiri. Bapak hanya minta engkau dengar apa yang akan Bapak sampaikan kepadamu. Selama ini Bapak belum pernah menyampaikannya.

Engkau pasti bertanya dalam dirimu kenapa Bapak tidak menikah lagi setelah sekian lama ditinggal oleh Ibumu. Dua puluh tahun lebih telah berlalu dan Bapak tetap tegar untuk tidak menikah lagi. Semua itu adalah karena Bapak tidak sanggup untuk melupakan Ibumu. Ia seorang wanita yang luar biasa dan sanggup berkorban demi sebuah keyakinan dan cinta. 

Bapak bukan satu-satunya laki-laki yang mencintai Ibumu. Seorang laki-laki sahabat Bapak juga pernah menaruh perhatian kepada Ibumu. Kami bertiga sama-sama kuliah di Fak Ekonomi UGM dan berasal dari angkatan yang sama. Terjadi persaingan diantara kami untuk mendapatkan cinta Ibumu. Awalnya Ibumu lebih memilih laki-laki itu daripada Bapak. Ibumu banyak mencurahkan perhatian kepadanya. Ketika orangtua Ibumu, Eyang Kakung dan Putri, tahu akan hal ini, mereka melarangnya untuk berhubungan karena laki-laki itu bukan orang Jawa. Tapi ibumu tidak peduli. Ia tetap membina hubungan dengannya. Walaupun demikian, Ibumu tidak pernah menolak Bapak. Ia selalu menerima Bapak setiap berkunjung ke rumah dan terkadang kami meluangkan waktu bersama. Ibumu masih terus menimbang antara Bapak dan dan laki-laki itu. 

Ketika kami di wisuda, Laki-laki itu harus kembali ke kota kelahirannya. Orangtuanya memintanya untuk kembali dan bekerja disana. Ia melamar Ibumu dan berjanji satu saat nanti ia akan kembali untuk menjemput Ibumu setelah ia mendapat pekerjaan di kota kelahirannya. Sedangkan Bapak ketika itu berusaha untuk dapat berkarir sebagai dosen.

Tiga bulan berlalu, Laki-laki itu datang menepati janjinya. Ia datang untuk menjemput Ibumu dan berencana untuk menyampaikan lamarannya kepada Eyang Kakung dan Putri mu. Dia ingin membawa Ibumu ke kota kelahirannya. Terjadi gejolak bathin di diri Ibumu. Ibumu meminta waktu untuk berpikir dan pada akhirnya Ibumu memilih Bapak yang saat itu masih berkarir sebagai assisten dosen. Laki-laki itu patah hati dan menyalahkan Bapak yang telah merebut Ibumu dari sisinya. Ia tidak dapat menerima kenyataan. Kami bertengkar hebat. Seorang teman melerai kami dan menyelamatkan kami dari saling melukai. Sejak itu Bapak tidak pernah bertemu dengannya lagi.

Tidak lama setelah menikahi Ibumu, Bapak mendapat beasiswa ke Amerika untuk mengambil gelar Master dan sekaligus PhD di University of Pitsburgh seperti yang kamu ketahui. Bapak dan Ibumu pindah ke Amerika. Hampir enam tahun kami tinggal disana. Sebagai pasangan muda yang baru menikah dan jauh dari keluarga serta orang tua, hidup di Amerika amatlah sulit. Tapi Ibumu tegar dan selalu menanamkan kesabaran kepada Bapak. Ia bagai seorang malaikat penolong yang selalu berdiri disisi Bapak. Ia rela bekerja sebagai perawat di rumah sakit dan di rumah jompo untuk mencukupi kebutuhan hidup kami. Ia abaikan gelar sarjananya dan mengikuti kursus perawat agar dapat dengan mudah berkerja. Sebagai mahasiswa penerima beasiswa, Bapak tidak dibolehkan bekerja diluar kampus. Kiriman uang kebutuhan hidup bulanan yang di dapat amatlah minim. Kami berusaha hidup irit. Terkadang harus makan hanya sekali dalam sehari. Tapi itu tidak cukup karena Bapak harus membeli buku-buku textbook yang tidak murah.

Ibumu melarang Bapak untuk bekerja. Ia meminta Bapak fokus pada kuliah. Ia rela bekerja siang dan malam yang menyebabkannya keguguran sampai tiga kali. Dokter melarangnya bekerja, tapi Ibumu tetap memilih untuk bekerja demi Bapak. Tak pernah Ibumu mengeluh sedikitpun.

Ketika Bapak telah mendapatkan gelar PhD, kami kembali ke Jogja dan memulai hidup baru sebagai dosen tetap. Kami mendapat rumah dinas dan sebuah kendaraan sepeda motor. Ibumu tetap tegar. Ia mengurus Bapak dengan baik dan larut dengan segala macam urusan rumah tangga. Ia memilih tidak bekerja dan fokus untuk dapat memiliki momongan.

Sepuluh tahun kami dalam penantian, akhirnya Ibumu hamil untuk kesekian kalinya. Kali ini kami benar-benar menjaganya. Ibumu harus istirahat total di tempat tidur sejak kandungannya berumur 5 bulan. Ibumu banyak menderita tapi ia berusaha untuk tegar. Dua hari setelah ulang tahun perkawinan kami yang kesebelas engkau lahir ke dunia ini, Laksmi. Seperti engkau ketahui, Ibumu mengalami pendarahan hebat dan…..Jiwanya tidak tertolong.

Satu yang harus engkau ketahui, bahwa tidak ada yang dapat menggantikan Ibumu dalam kehidupan Bapak dan engkau adalah bagian dari Ibumu yang nyata bagi Bapak. Engkau mirip Ibumu…Kecerdasanmu…kecantikanmu dan semua yang ada pada dirimu. Ketika engkau lari dari rumah dengan laki-laki yang engkau cintai itu, hati Bapak hancur. Ada bagian dari diri bapak yang hilang.

Engkau mungkin bertanya kenapa Bapak tidak menyetujui hubungan kalian? Bapak tidak melihat adanya ketulusan dalam sorot matanya. Ia tidak benar-benar mencintaimu, Laksmi….Percayalah…Bapak seorang laki-laki dan Bapak tahu seperti apa seorang laki-laki seharusnya mencintai seorang wanita…

Semoga engkau dapat menerima apa yang Bapak sampaikan ini. Bapak menyayangimu dan tidak ingin kehilangan dirimu dari sisi Bapak…”

Laksmi mengakhiri kisahnya kepada Faisal yang terus memperhatikannya dengan seksama.

“Apa yang terjadi setelah itu, Laksmi?’ Tanyanya.

“Aku memutuskan untuk kembali ke Jogja bersama Bapakku…Bapakku benar. Lelaki itu tidak benar-benar mencintaiku. Ia hanya ingin menikahiku secara siri agar kami dapat melakukan hubungan suami istri yang aku selalu menentangnya sejak awal hubungan kami. Aku mengetahuinya beberapa hari kemudian dari seorang sahabatnya….Picik memang…sungguh picik….” Ujar Laksmi geram.

“Sejak itu aku berkata pada diriku bahwa aku tidak akan pernah dengan mudah untuk mencintai seseorang lagi.” Lanjut Laksmi.

“Sampai saat ini?” Tanya Faisal dengan tersenyum menghadap ke arah Laksmi.

“Sampai beberapa waktu yang lalu di Union Station ketika Aku bertemu dengan seseorang bernama Faisal yang meluluhkan hatiku begitu cepat…” Jawab Laksmi sembari menjatuhkan kepalanya ke bahu Faisal yang tepat berada disampingnya.

Lama mereka terdiam memandang ke arah sungai Patomac kembali. Kali ini dengan senyuman di wajah masing-masing dan pikiran yang melayang jauh entah kemana. Tak terasa hari semakin siang. Faisal mengajak Laksmi untuk pergi ke toko buku Barnes and Noble yang dijanjikannya sejak beberapa hari yang lalu. Mereka berangkat dengan menggunakan taxi.

ooOOOoo

Tak terasa langkah mereka berakhir di depan Fullerton House. Faisal melirik jam tangannya yang ketika itu menunjukkan pukul 22.35. Ia mengantarkan Laksmi sampai pada receptionist yang berada di lantai bawah.

“Aku pamit, Laksmi…Wassalamualaikum.” Kata Faisal sembari tersenyum.

“Walaikumsalam…..Terima kasih untuk segalanya, Mas. Sungguh aku mendapat pengajaran yang berharga malam ini.” Jawab Laksmi.

Ada sesuatu yang sepertinya menahan mereka untuk berpisah malam itu. Faisal seolah tersadar bahwa ia harus pulang dan meninggalkan Laksmi tanpa perlu berlama-lama. Mereka akhirnya berpisah dan membawa kesan yang mendalam pada diri masing-masing.

Malam itu sebuah kenyataan baru hadir dalam kehidupan Laksmi. Sosok Faisal terus-menerus menari-nari dalam benaknya. Kata-katanya bagai sebuah symphony yang terus mengingatkan dan sekaligus menguatkan jiwanya. Ia sadar, teramat jarang seorang pria dapat merebut hatinya begitu cepat. Selama ini ia hanya punya satu orang laki-laki yang selalu menjadi idolanya….tumpuannya dan tempatnya berkeluh kesah…sosok yang selalu melindunginya. Dialah sang Bapak yang selalu ada untuknya.

Dua puluh lima tahun usianya kini. Usia yang penuh kedewasaan untuk menentukan masa depannya. Ia punya sebuah kriteria yang hanya dirinya yang tahu dalam menentukan seorang laki-laki sebagai pendamping hidupnya. Ia sangat percaya dan yakin bahwa seorang laki-laki yang ia cintai harus dapat memberinya perhatian dan membuatnya jadi lebih baik.

Selama ini sang Bapak tidak pernah dapat mendekatkan dirinya kepada Yang Maha Hidup. Laksmi ingin keduanya. Seseorang yang dapat membimbingnya dalam kehidupan dunia dan juga akhirat. Membimbingnya pada jalan keimanan dan juga membawa pada kebaikan diri. Kini, ia melihat hal itu ada pada sosok seorang Faisal.

Naluri dan pikirannya berkata, “Bisa jadi hal ini terlalu cepat untukku…..atau karena Bapak tidak ada di dekatku…” Dari pengalamannya, ia tidak mudah untuk tertarik pada seorang laki-laki manapun. Sebahagian teman laki-lakinya memanggilnya dengan sebutan Miss Undecided karena banyak dari mereka yang menyatakan ‘suka’ kepadanya dan berusaha menarik perhatiannya, tapi tak beroleh jawaban darinya. Ketika ia didesak, ia selalu menghindar dengan santun.

Laksmi Soemohadisoebroto namanya. Kehilangan sang Ibu ketika ia hadir ke dunia ini. Dibesarkan oleh sang Bapak bergelar PhD yang menjadi guru besar di Fakultas Ekonomi UGM. Dididik dan dibesarkan dengan rasionalitas seorang pria dan kesabaran seorang dosen pengabdi yang tekun. Dibesarkan dalam suasana budaya Jawa yang kental dan berakar menghujam ke bumi. Laksmi tumbuh menjadi pribadi yang teguh dalam pendirian tapi lembut  dalam bertutur. Seorang wanita idealis yang selalu menggali potensi dirinya untuk menjadi yang terbaik. Ia selalu berprestasi dalam bidang akademiknya. Ketika SD dan SMP ia lewatkan di perguruan Muhammadiyah dan melanjutkan ke SMA Negeri 1. Semuanya di kota kelahirannya Yogyakarta. Ia memilih fakultas psikologi UGM dan dapat diterima dengan jalur khusus tanpa tes yang saat itu disebut PMDK. Ia mendapat beasiswa pada semester kedua tapi sang Bapak memintanya untuk tidak mengambil beasiswa tersebut. “Masih banyak orang yang lebih membutuhkannya daripada kamu…” Begitu alasan sang Bapak.

Ia memasuki apartmentnya dan mendapati teman sekamarnya yang berasal dari Swiss tidak berada di sana. Sesuatu terlintas dipikirannya malam itu. Ia ingin sekali melaksanakan shalat. Ia bersiap untuk mandi membersihkan dirinya. Setelah berpakaian, ia kembali lagi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Suatu ritual yang telah lama tidak ia lakukan tapi masih terbenam kuat dipikirannya. Ia memutuskan untuk shalat Maghrib terlebih dahulu dan melanjutkannya dengan shalat Isya. Ia duduk berlama di sajadahnya setelah salam. Ada keengganan dirinya untuk bangkit. Pikirannya melayang kepada apa yang baru saja ia lalui bersama Faisal. Sebuah keindahan…sebuah pelajaran baru tentang hidup yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya. Ia menghela nafasnya mencoba untuk berpikir rasional atas semua yang terjadi. Perasaan itu timbul kembali dalam hatinya….Sosok Faisal yang santun, kata-katanya yang bijak dan gurat kematangan di wajahnya menghampirinya…..Ia melawan perasaannya sendiri dan memutuskan untuk berdoa,

“Ya Allah, aku bukanlah hamba-Mu yang patuh kepada-Mu. Aku selalu lalai dari mengingat-Mu. Begitu banyak nikmat yang Engkau berikan, tapi aku seolah tidak pernah peduli dengan semua itu. Malam ini, sungguh aku telah beroleh sebuah pelajaran hidup dari seorang hamba-Mu yang baik. Ia bagai sebuah godam yang mengoyak kemapanan pikiranku dan melumatkan ego diriku yang selama ini ku bangun antara aku dengan Engkau wahai Tuhan-ku.”

“Aku ingin berubah ya Allah dan biarlah ia merubahku untuk menjadi lebih baik dalam mendekatkan diriku kepada-Mu.”

Laksmi mengakhiri doanya dan beranjak dari sajadahnya. Ia menuju dapur dan membuat secakir ‘green tea’ panas. Ia kembali ke kamar dan larut dalam bait-bait novel yang sedang diselesaikannya. Ia berniat untuk bangun sahur di pagi nanti dan menyetel jam digital yang ada disebelah tempat tidurnya setengah jam sebelum waktu Shubuh. Ia tertidur tak lama kemudian.

ooOOOoo

Sesaat Faisal sampai di apartemen nya, Ia disibukkan sementara oleh tugas yang harus ia kumpulan untuk sesi kuliah esok pagi. Hampir enam puluh menit ia larut di depan Personal Computer di atas meja belajarnya sembari menyeruput ‘Mint Tea’ yang disiapkannya sendiri. Ketika bunyi printer itu menyeruak, ia merasa lega telah menyesaikan tugasnya. Ia masukkan kumpulan kertas yang masih tergeletak di mulut printer itu ke folder plastik transparan untuk kemudian ke tas ranselnya. Ia rebahkan tubuhnya kembali di sofa dan menghabiskan Mint Tea yang masih tersisa setengahnya. Ia berniat untuk mandi air hangat sebelum tidur. Terlintas dipikirannya untuk menelpon sang Ibu tapi ia urungkan niatnya itu. Baru dua hari yang lalu sang Ibu menelpon untuk menanyakan khabar dan pengalamannya bertemu dengan Tara.

“Tidak ada yang istimewa…Bunda.” Begitu jawabannya ketika sang Ibu bertanya tentang Tara.

Ia mengambil dari rak bukunya sebuah buku kumpulan puisi yang berjudul Leave of Grass karya Walt Whitman. Seorang pujangga Amerika yang terkenal dengan karya-karyanya yang penuh dengan romantisme dan keindahan. Faisal mulai tertarik pada karya-karya Whitman ketika ia masih menyelesaikan kuliah S-1. Ia harus mengambil empat mata kuliah yang berkenaan dengan sastra Inggris sebagai mata kuliah wajib. Salah satu mata kuliah yang amat diminatinya adalah Poetry Reading.

Faisal amat sadar bahwa naluri dirinya selama ini membuatnya tidak dapat berpisah dari buku-buku puisi atau prosa sastra apapun.  Hal yang selama ini telah difasilitasi oleh sang Ibu. Sampai saat mengenyam pendidikan S-2, diskusi-diskusi kecil dengan sang Ibu tentang rona merah sebuah hikayah puisi ataupun perjalanan hidup seorang pujangga masih saja terjadi ketika mereka bertemu. Membuat keakraban hubungan Ibu dan anak itu terus berlangsung.

Selain Whitman, Faisal juga menyukai karya-karya pujangga Amerika lainnya seperti Maya Angelou, T.S. Elliot dan Emily Dickinson. Ia membeli beberapa buku karya mereka untuk menambah koleksinya. Dari semua buku-buku itu, karya Whitman lah yang selalu menjadi pelepas waktu senggangnya.

Ia membuka lembar demi lembar buku kumpulan puisi itu dan mendapatkan sebuah catatan puisi  “Song of Myself”:

I Celebrate myself,

And what I assume you shall assume,

For every atom belonging to me as good belongs to you.

I loafe and invite my soul,

I lean and loafe at my ease….observing a spear of summer grass.

Bait-bait Whitman mengingatkannya akan suasana kehidupan yang menentramkan….Kenangan akan masa kecilnya. Mengingatkannya akan beranda di belakang rumah yang menjadi tempat diskusi panjang dengan sang Ibu…….Mengingatkannya akan dirinya yang kesepian dalam hiruk pikuk kehidupan yang dijalani. Sudah saatnya ia memiliki pendamping untuk mengisi hari-harinya. Ia selalu dalam pencarian. Dan sosok itu kini hadir dihadapannya…sosok seorang Laksmi yang hari-hari terakhir ini mewarnai relung-relung jiwanya yang amat dalam.

Dua puluh sembilan tahun umurnya saat ini. Sebuah usia yang menyiratkan kematangan jiwa dan kemapanan. Ia telah banyak mengecap kepahitan, kegetiran dan kebahagian hidup yang silih berganti. Bertemu dengan beberapa wanita yang ia kagumi dan mencoba membina hubungan dengan seseorang secara serius ketika Ia bekerja di Jakarta tapi harus berakhir kandas bagai perahu terhantam karang yang muncul tiba-tiba. Sang Ayah menolaknya dan sama sekali tidak menyetujuinya. Alasan Ayahnya adalah karena wanita itu tidak sepadan ‘keadaannya’ dengan keluarga mereka.

Sang Ibu hanya bisa mengurut dada. Walaupun demikian, Ibunya tidak pernah melarangnya. Ia membela Faisal dalam hal ini karena Ia sangat mengerti bahwa ketidaksetujuan suaminya itu sebenarnya adalah karena wanita yang disukai Faisal tidak terkesan ‘wah’ dan tidak pernah pula berasal dari keluarga kaya raya ataupun memiliki kedudukan di masyarakat. Faisal hanya tertarik pada wanita sederhana, cerdas, dan mandiri.

Di mata sang Ibu, kedudukan suaminya sebagai direktur utama sebuah perusahaan negara yang telah digenggamnya lebih dari delapan tahun sangat mempengaruhi caranya berpikir. Semenjak menjadi direktur yang memiliki bawahan mencapai ribuan orang, suaminya tampil bak seorang pejabat yang merasa dirinya ‘penting’. Sang suami menginginkan hubungannya dengan istri dan anak-anaknya terlihat harmonis di mata semua orang. Sang suami terkesan ingin selalu terlihat memiliki anak-anak yang sukses dalam meraih gelar sarjana, menikah dengan seseorang yang sama strata sosialnya dan sukses dalam berkarier. Terlebih dengan harta yang ia miliki, sang suami dapat melakukan apa saja agar terlihat baik dan harum namanya dimata orang lain.

Sang Ibu selalu memberi kesempatan bagi Faisal untuk berteman dengan siapa saja walaupun ia tak luput mengawasi. Selama ini ia telah berusaha mendidik Faisal dengan ‘hati’ sebagai bekal yang teramat penting dalam meniti kehidupan. Hal ini tercermin pada diri Faisal yang santun dan suka menolong. Ia sangat yakin bahwa anak lelakinya itu akan selalu menghormati wanita dan tidak akan mungkin berbuat sesuatu yang menyakiti hati mereka.

Di sisi lain, Ayah nya juga memakai dalih agama sebagai pembenaran untuk melarang Faisal membina hubungan dengan wanita yang tidak disukainya. Dalam sebuah Hadish, Rasulullah Saw pernah menampaikan bahwa “Ridha Allah SWT terletak pada ridha kedua orang tua”. Dalil ini selalu didengung-dengungkan oleh Ayahnya. Hadish ini bagai dogma harga mati yang pada akhirnya menempatkan Faisal pada posisi yang lemah dalam membela diri.

Dalam sebuah kesempatan, Faisal bertanya pada ustad Amir akan makna sebenarnya dari hadish ini dan ia mendapat jawaban yang sangat menentramkannya,

“Sudah seharusnya ridha orang tua itu bersandar pada nilai keadilan dan kebenaran bukan arogansi dan pemaksaan kehendak. Orang tua selalu dituntut untuk bertindak adil dalam hal mendidik anak-anaknya karena adil dan benar itu adalah prinsip Islam yang hakiki.”

Dalam mejalani hari-harinya yang penuh konflik dengan Ayahnya, Faisal lebih banyak menghindar untuk berargumen. Ia sadar hal itu akan berakibat buruk bagi dirinya dan Ibunya yang ia sayangi. Ayah nya selalu pada posisi di atas dan tidak akan pernah bisa berkomunikasi atau berdialog sejajar dengannya. Apa yang dianggapnya benar adalah benar dan apa yang tidak disukainya dianggapnya salah. Kebenaran dan keadilan itu hanya menurutkan keinginan Ayah nya saja.

ooOOOoo

Malam semakin larut, Faisal menutup buku kumpulan puisi Whitman yang sedari tadi berada di tangannya dan beranjak untuk mandi air hangat. Setelah ia mengenakan baju tidur, ia mengambil buku jurnal hariannya dan mulai menulis sebagai salah satu ritual malamnya diatas tempat tidur. Ia menuliskan sebait puisi yang bercerita akan pertemuannya dengan Laksmi. Perasaan yang tidak dapat dipungkirinya:

Padaku ada ombak yang berdebur keras…

Pecahan riaknya tumpah selaras.

Padaku ada detak jantung tak berirama

Sulit untuk mengartikan nadanya

Padaku ada langit biru

Tanpa serpihan awan putih memaku

Padaku ada cinta menggelegar

Tak mampu membalut segala getar

Padaku ada kamu….Sukmaku berujar:

Sudahlah…Tak mungkin menghindar

Faisal menutup bukunya itu. Meletakkannya di meja samping tempat tidurnya. Pikirannya kembali melayang jauh….kenangan hidup yang harus dilaluinya dalam sedih dan gembira. Semua itu menguatkan jiwanya. Ia berusaha menjalani hidup ini apa adanya dan tidak pernah berharap terlalu muluk. Dalam hidupnya, ia selalu berkompromi antara keinginan Ayahnya, cita-citanya dan keinginan untuk membahagiakan Ibunya. Semua yang ia lalui terasa tidak pernah berjalan mulus. Kompromi….dan…..kompromi….Entah sampai kapan….Begitu kadang bathinnya bertutur. Tapi ia bersyukur. Allah Maha Menyayangi dan Maha Melindungi dirinya dari segala kedurhakaan terhadap orangtuanya. Ia selalu patuh dan menurut tanpa banyak menuntut. Ia telah tumbuh sebagai pria dewasa dan selalu ingin berbuat baik kepada siapa saja. Kini ia memikirkan Laksmi. Seorang wanita Jawa yang begitu cepat merebut hatinya….memukau pandangannya….dan mewarnai pikirannya.

Note:


[1] Perang teluk pertama pada saat Iraq menyerang Kuwait di awal tahun 1990.

[2] Monumen peringatan berupa bangunan besar di ujung sebelah barat kota Washington DC yang memuat patung presiden Abraham Lincoln. Presiden ke 16 Amerika Serikat

 

 

 

Bagian 4: AYSHA

Islamic Center of America merupakan sebuah masjid besar yang berlokasi di jalan utama kota Washington DC tepatnya di Massachusetts Avenue. Mulai didirikan pada awal tahun 1950 an dengan modal awal berasal dari negara-negara muslim seluruh dunia dan diresmikan pada tahun 1957. Masjid ini dirancang oleh seorang arsitek Italia dan merupakan bangunan masjid pertama di sebuah negara barat. Di depan masjid tersebut, terpampang bendera-bendera Negara Islam ataupun mayoritas penduduknya beragama Islam. Merah putih adalah salah satu diantaranya.

Faisal menghubungi Islamic Center selepas Maghrib pada malam Minggu itu dan mendapat khabar bahwa awal Ramadhan akan dimulai pada hari Senin. Ia berbicara dengan seseorang yang dikenalnya di bagian informasi Masjid melalui saluran telepon. “Alhamdulillah” ucapnya. Ia bersyukur masih memiliki satu hari lagi untuk mempersiapkan kedatangan bulan yang penuh rahmat dan ampunan Allah tersebut. Ia langsung menghubungi Laksmi dan berpesan agar menyampaikan hal ini kepada Tara dan Hani.

“Mas Faisal besok Terawihan di mana?” Tanya Laksmi.

“Kalau cuaca tidak terlalu dingin, insya Allah aku akan ke Islamic Center.” Jawabnya.

“Mau ikut?” Tanya Faisal

“Ingin sekali, tapi aku belum bisa.” Jawab Laksmi memberi alasan bahwa ia harus konsentrasi pada modul-modul internship yang belum sempat ia pelajari. Internship ini akan dimulai pada hari Senin lusa.

Faisal tidak ingin berpanjang-panjang dalam pembicaraan mereka. Dengan sopan ia menyudahinya dan bersiap berangkat menuju mushola kampus untuk menunaikan kewajibannya shalat Isya berjemaah di malam Minggu itu. Salju terlihat mulai turun. Butiran-butiran selembut kapas mengenai wajah Faisal tapi ia membiarkannya. Sebuah keasyikan tersendiri baginya menikmati hal ini. Pikirannya melayang kepada Laksmi yang baru dikenalnya. Ia tersenyum dan berusaha mengingat kembali percakapan yang telah mereka lakukan tadi sore di Starbuck café maupun ketika dalam perjalanan pulang. Ada sebuah keindahan disana yang sulit untuk dilupakan. Berkali-kali ia menghela nafas dan berucap “Subhanallah.” Terlihat jelas semburan kabut disekitar wajahnya yang bersumber dari helaan nafas karena perbedaan suhu yang sangat ekstrem antara tubuhnya dan keadaan diluar.

Ketika ia memasuki mushola kecil itu, adzan telah selesai dikumandangkan dan sebahagian besar dari jemaah yang berjumlah sepuluh orang itu masih melakukan shalat sunnat Qabliyah Isya’. Faisal bergegas melakukannya. Ketika mereka selesai, seorang mahasiswa yang berasal dari Mesir, berdiri dan melakukan iqamah. Ia mempersilahkan Faisal untuk menjadi imam mereka. Faisal tersenyum dan langsung melangkahkan kakinya ke depan.

Kejadian seperti ini sering kali terjadi hampir setiap hari. Faisal menjadi imam shalat yang dilaksanakan. Bukanlah karena senioritas-nya sebagai mahasiswa pascasarjana, tapi lebih disebabkan kepada kefasihannya dalam melantunkan ayat-ayat suci Al Quran. Pengalaman masa kecilnya dihabiskan dengan begitu banyak mempelajari agama Islam. Ibunya sangat ‘concern’ dengan pendidikan agama anak lelaki satu-satunya ini. Lima hari dalam seminggu ia belajar agama dan hanya libur di hari Sabtu. Dua kali seminggu untuk belajar Tahsinul Quran. Dua kali seminggu untuk materi Fiqh ibadah dan muamalah. Dan sekali seminggu untuk bahasa Arab. Sejak ia duduk di kelas satu SMP semua hal itu sudah menjadi kewajibannya ditambah dengan kursus bahasa Inggris yang harus diikutinya dua kali dalam seminggu pada malam hari di sebuah lembaga bahasa Indonesia-Amerika.

Semua kegiatan mempelajari agama Islam itu tidaklah dilaluinya dengan lancar dan mudah. Sang Ibu lah yang selama ini menjadi pendorong terkuatnya. Dengan kesabaran dan perhatian yang besar, Ibu nya selalu memberi motivasi untuk tetap konsisten mempelajari agama Islam.  Dalam usianya ke-17, ia telah dapat menghapal 25 Juz ayat-ayat Al Quran.  Ia tumbuh menjadi pribadi yang lembut dan cerdas serta memiliki kemampuan agama yang mumpuni.

Setelah ibadah shalat Isya tersebut ditunaikan, Faisal berdiskusi sejenak dengan beberapa jemaah yang hadir. Mereka merupakan anggota pengurus Muslim Student Association[1] di George Washington University. Faisal banyak terlibat dalam setiap kegiatannya dan selalu meluangkan waktunya untuk ikut merumuskan kebijaksanaan perkumpulan ini sejak awal ia kuliah. Topik pembicaraan mereka kali ini masih seputar kegiatan Ramadhan yang akan mulai dilaksanakan esok harinya. Lebih setengah jam mereka berdiskusi, sebelum akhirnya mereka berpamitan.

Dalam perjalanan pulang, udara malam itu terasa semakin menusuk tulang. Faisal melilitkan syal yang semula hanya menutupi bagian lehernya ke bagian mulut dan hidungnya untuk menahan angin dingin yang berhembus kencang. Terasa olehnya perutnya yang mulai keroncongan. Ia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 20.00. Ia memutuskan untuk makan malam di sebuah restaurant kecil dengan menu masakan Lebanon yang berada di seberang kampusnya. Sebuah resto kecil yang menyatu antara dapur dengan ruang pelayanan pelanggannya. Memiliki beberapa kursi tinggi dan meja bar yang berbentuk huruf L.

Faisal duduk di depan meja Bar dan langsung memesan seporsi Kafta kebab beserta kentang goreng dan Mint Tea kesukaannnya yang beraroma arab. Hanya ada empat pengunjung lain selain dirinya di malam Minggu itu. Walaupun restaurant kecil itu memiliki pemanas ruangan yang bekerja dengan baik, Faisal tidak melepas jaket musim dinginnya dan membiarkan tubuhnya memperoleh tambahan kehangatan. Ia meletakkan syal nya di atas meja sembari menunggu pesanannya datang. Terdengar lagu-lagu nuansa arab yang kental diperdengarkan walaupun harus berpacu dengan suara sebuah TV ukuran 13” yang terpampang di sudut atas tempat dimana sang kasir restaurant berada.

Tak lama ia harus menunggu. Sembari mengucap doa ia mulai menyantap pesanannya. Pikirannya kembali melayang kepada Laksmi. Ada sesuatu di diri wanita itu yang membuatnya tidak dapat melupakannya. Ia berusaha menganalisanya tapi sulit untuk ia dapatkan jawabannya. Ia bukan tipe seorang pria yang gampang jatuh cinta. Ia juga bukan tipe seorang melankolis yang berharap akan sebuah romantisme semu yang tak berujung dalam kehidupannya. Wanita yang selalu menjadi idamannya adalah seseorang dengan sosok yang cantik dan cerdas. Seseorang yang dapat mengungkapkan pemikirannya dengan gamblang dan punya sisi kelembutan dan kesederhanaan.  Ia melihat apa yang  menjadi kriterianya tersebut terlihat ada pada diri Laksmi.

“Astaghfirullah..” Ia tersadar telah memikirkan sesuatu terlalu jauh. Ia seolah terbangun dari tidurnya dan ingin cepat melupakan hal itu. Tidaklah pantas baginya untuk berharap banyak dari seorang wanita yang baru dikenalnya. Tak baik hal itu ia lakukan. Ia seorang pria dewasa yang ingin mencari seorang teman hidup dan berharap seseorang itu akan menemaninya sampai takdir merenggut hak hidup yang ia miliki. Ia telah melalui episode-episode kehidupan yang terkadang tidak mengenakkan bathin nya dan berharap hal itu tidak terulang lagi dimasa depan.

ooOOOoo

Ketika Faisal memasuki studio apartemen-nya, mesin penjawab pesan teleponnya terlihat berkedip-kedip tanda pesan baru telah diterima. Ia bergegas menuju meja sudut tempat dimana mesin itu berada. Terlihat angka ‘1’. Tanda sebuah pesan baru telah diterima. Faisal menekan tombol “play” untuk memainkan rekaman pembicaraan seseorang yang telah menghubunginya. Terdengar suara seorang wanita yang amat dikenalnya dalam bahasa Inggris-Amerika yang kental…Suara seorang wanita yang pernah berharap sesuatu kepadanya.

“Assalamualaikum Faisal, Apa khabar?  Saya Aysha……Saya hanya ingin mengucapkan Ramadhan Kareem. Semoga menjadi keberkahan bagi kita dalam menjalankannya. Ameen.”

Faisal tertegun sejenak sebelum akhirnya bergumam,

“Aysha….”

Ia menjatuhkan badannya ke sofa sembari menghela nafasnya berkali-kali. Badannnya terasa letih. Ia terduduk layu tanpa ingin menggerakkan badannya sedikitpun. Bibirnya seolah terkatup rapat dan matanya terpaku memandang kosong pada suatu titik di studio apartmen-nya itu. Pikirannya kembali melayang ke masa lalu. Kejadian delapan bulan sebelumnya…dimusim semi 1996 disaat pertama kali ia bertemu dengan Aysha .

ooOOOoo

Aysha Sezgin nama wanita itu. Terlahir dari seorang ayah berkebangsaan Turki dan ibu seorang Anglo Saxon Amerika yang berasal dari sebuah kota kecil di negara bagian Minnesota. Ayahnya adalah seorang muslim yang tidak begitu taat yang mengenal sang ibu ketika mereka bersama-sama kuliah di Gorgetown University. Mereka melangsungkan pernikahan secara Islam beberapa tahun setelah tamat kuliah. Sang ibu sendiri masuk Islam beberapa minggu sebelum menikah.

Aysha didik dalam suasana kehidupan Amerika yang serba materialis walaupun sang ayah berusaha mengajarinya shalat dan puasa disaat Ramadhan serta memasukkannya ke sekolah khusus akhir pekan (Sunday school) untuk mempelajari Al Quran dan hal-hal yang menyangkut fiqih sehari-hari. Di tahun terakhir pendidikan SMA, ia memutuskan untuk berhenti menjalankan syariat Islam. Ia mulai meninggalkan shalat dan puasa serta hal-hal ritual rutin lainnya. Ia ingin bebas dengan pilihannya untuk sekedar mempercayai Tuhan tanpa harus membebani dirinya dengan ritual-ritual yang dianggapnya tidak dapat membuat hidupnya lebih “baik”. Walaupun demikian, komunikasi yang baik dan perhatian yang lebih dari kedua orangtuanya menjauhkannya dari kerusakan moral yang merajahi sebahagian besar kehidupan generasi muda Amerika pada umumnya. Ia memiliki pribadi yang bersahaja dan prinsip hidup yang terlihat kuat melampaui keadaan disekelilingnya.

Aysha kuliah di George Washington University jurusan kedokteran. Ia memilih untuk aktif di kegiatan kemahasiswaan dan bergabung dengan Muslim Student Association (MSA). Ada dorongan yang masih kuat dalam hatinya untuk tetap meyakini dirinya adalah seorang wanita muslim walaupun ritual ibadahnya telah ia tinggalkan beberapa tahun sebelumnya. Ia punya pertanyaan besar dalam dirinya yang belum ia dapatkan jawabannya.

Aysha dan Faisal bertemu ketika mereka sama-sama mengambil mata kuliah Interfaith Studies[2] sebagai mata kuliah tambahan. Pada saat itu, Faisal masih berada pada semester kedua program pasca sarjananya sedangkan Aysha pada semester terakhir sebelum mendapatkan gelarnya sebagai dokter umum. Sistem pendidikan di Amerika membolehkan setiap mahasiswa untuk mengambil beberapa mata kuliah yang diminati diluar mata kuliah wajib yang harus diambil.

Di awal-awal masa kuliahnya, Faisal tidak saja mengambil mata kuliah yang berhubungan dengan jurusannya. Ketertarikannya untuk mempelajari hal-hal yang menyangkut agama Islam tidak pernah pupus dari dirinya. Ia ingin menggali dan terus menggali agama yang diyakininya. Ketika kuliah di University of California Berkeley, ia mengambil beberapa mata kuliah yang berhubungan dengan sejarah peradaban Islam sebagai mata kuliah tambahan. Dan kini, ketika ia mengambil program pasca sarjana nya di George Washington University, ia mengambil beberapa mata kuliah ‘Islamic Studies’ terutama bidang perbandingan agama yang sering disebut dengan Comparative Studies.

ooOOOoo

Perkenalan Faisal dengan Aysha terjadi dalam suatu sesi mata kuliah. Ketika itu Faisal baru saja menyelesaikan presentasinya. Seorang wanita dengan sorot mata tajam kebiruan perlahan mendekatinya. Wanita dengan wajah arab-turki dan rambut tergerai tanpa berbalut kerudung itu tersenyum ke arahnya.

Wanita itu berkata “Assalamualaikum. Aku tertarik dengan ulasan anda tadi pada saat presentasi. Apakah anda punya waktu untuk berdiskusi?”

Faisal tersenyum sembari menjawab salamnya dan berkata, “Bisakah aku shalat Ashar terlebih dahulu, sebelum berdiskusi? Waktunya hampir habis.”

Aysha menganggukkan kepalanya sembari tersenyum. Mereka berjanji untuk bertemu di sebuah coffee shop di lingkungan kampus setengah jam kemudian.

Coffee Shop itu bernama DC Latte, tempat yang merupakan meeting point setiap mahasiswa di kampus. Tempatnya tak jauh dari student center. Ketika Faisal sampai, Aysha telah menunggunya. Suasana yang ramai di coffe shop itu tidak membuat Faisal sulit untuk mengenalinya. Wajahnya yang terlihat cantik membedakannya dari setiap pengunjung yang hadir sore itu. Ia bergegas menuju meja dimana Aysha duduk.

Suasana musim semi Washington DC yang terkadang mengembuskan angin dingin di sore hari tidak menghalangi Aysha untuk mengambil tempat duduk di beranda luar coffee shop tersebut. Ia mengalungkan syal bermotif kotak merah-putih untuk menutupi bagian lehernya demi menahan hembusan angin.

“Assalamualaikum” Sapa Faisal kepadanya.

Aysha tersenyum dan menjawab salamnya seraya dengan sopan mempersilahkan Faisal duduk. Terlihat ia telah memesan secangkir teh dengan aroma Chamomile yang sangat kental.

“Mohon maaf aku tidak memesan minum buatmu. Aku tidak menyukai minuman kopi!” Jelasnya kepada Faisal.

“Tidak apa-apa aku akan memesannya sekarang.” Jawab Faisal sembari tersenyum dan beranjak ke order counter untuk memesan secangkir mint tea.

Setelah memperoleh pesanannya, Faisal kembali duduk di depan Aysha dan memperhatikan keadaan disekelilingnya. Terlihat wajah Aysha yang sudah tidak sabar untuk bertanya kepadanya.

Setelah didahului beberapa obrolan yang tidak begitu penting dan pembicaraan mengenai kegiatan perkuliahan masing-masing, Aysha akhirnya bertanya kepada Faisal.

“Apa yang anda dapatkan dari menyakini Islam sebagai agama anda?”

Dengan wajah keheranan, Faisal mencoba untuk memperbaiki letak duduknya. Belum sempat Faisal menjawabnya, Aysha kembali melanjutkan, “Ketika aku diharuskan untuk memenuhi kewajiban-kewajibanku sebagai seorang Muslim seperti shalat, puasa dan ritual-ritual lainnya, aku tidak pernah merasakan adanya pengaruh pada diriku. aku tidak menjadi lebih baik dan cenderung merasakan hal itu sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.”

“Ketika aku dalam kesulitan karena persoalan hidup yang terkadang datang bergejolak, aku merasa bukanlah shalat atau puasa atau bahkan doa-doa yang kupanjatkan yang dapat membebaskanku dari segala kesulitan itu. Aku sangat yakin bahwa persoalan yang aku hadapi dapat selesai adalah karena hasil usahaku sendiri untuk berubah dan mengubah keadaan.”

Aysha sangat bersemangat bercerita perihal keadaan dirinya, lingkungan keluarganya dan bagaimana ia dididik dalam kemapanan ibu dan ayahnya tanpa sesuatu kekurangan yang berarti. Ayahnya adalah seorang bankir yang memiliki jabatan berpengaruh. Demikian juga ibunya adalah seorang pengacara komunitas yang banyak membantu kaum marginal dan papa untuk mendapatkan hak-hak mereka.

“Maafkan jika aku bertanya masalah ini. Aku sangat tertarik dengan presentasi yang anda sampaikan ketika di ruang kuliah tadi. Aku sangat yakin bahwa aku bertanya pada orang yang tepat.” Begitu Aysha menutup penuturannya.

Faisal tersenyum sembari melirik mint tea di depannya yang tinggal tersisa sepertiga. Udara DC begitu bersahabat sore itu walaupun lantunan angin yang berhembus masih terasa dingin. Sebuah awal musim semi yang banyak memberi harapan bagi warga kota…..Harapan akan kehangatan dan daun-daun pepohonan yang kembali tumbuh dengan perlahan.

Tak terasa matahari terlihat semakin condong ke arah barat. Semburat kemerahan terlihat jelas meliputi langit yang menaungi. Tanda waktu untuk sebuah kewajiban bersujud kepada Sang Maha Hidup harus kembali dilakukan.

Faisal berkata kepada lawan bicaranya, “Jika anda begitu yakin bahwa segala ritual ibadah dan doa itu tidak membantu anda sedikitpun, kenapa anda harus bertanya lagi kepadaku tentang apa yang aku dapatkan dari meyakini Islam sebagai agama?”

Aysha terdiam untuk beberapa saat. Ia tundukkan wajahnya dan dengan suaranya yang amat perlahan nyaris tak terdengar ia mengakui bahwa ia ingin menjadi seorang muslimah yang baik dan sangat ingin merasakannya. Perasaannya sedang galau. Ia seolah selalu bimbang dalam melangkah tanpa pegangan yang kuat.

Langit yang semakin memerah memaksa Faisal untuk menghentikan diskusi mereka sore itu dan meminta waktu untuk melaksanakan kewajiban sholat Maghrib yang tak ingin ia tunda.

“Anda suka musik Jazz?” Tanya Faisal kepadanya. Aysha sedikit tertegun dan ragu dalam jawaban.

Faisal kembali meneruskan pertanyaannya. “Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan kepada anda malam ini.”

Dengan wajah kebingungan, Aysha melontarkan pertanyaan kepadanya, “Apa hubungan pertanyaan ku dengan musik Jazz?”

Mengerti akan kebingungan yang terlintas diwajah lawan bicaranya, Faisal tersenyum dan berkata.

“Tunggulah selepas Maghrib, insya Allah akan aku tunjukkan sesuatu kepada anda yang bisa jadi menjawab pertanyaan anda.”

Blues Alley adalah sebuah café kecil dimana selalu diadakan pagelaran Classic Jazz setiap malam di DC. Letaknya tak jauh dari kampus tempat mereka kuliah di district Foggy Bottom. Biasanya pemain-pemainnya adalah laki-laki kulit hitam dan jarang dari mereka melantunkan nyanyian vokal. Hanya sekedar instrumental dari beberapa alat musik dalam sebuah alunan yang sangat apik dengan improvisasi masing-masing yang bergantian mengambil peran.

Ketika mereka masuk, pagelaran baru saja dimulai. Sebuah arransemen pembuka yang berjudul Autumn Leaves sedang dimainkan dengan sangat sempurna menjadikan penonton yang hadir amat menikmatinya. Tidak ada asap rokok, tidak ada musik yang hingar bingar. Lima orang lelaki kulit hitam setengah baya memainkan instrument musik bass, saxophone, piano dan drum serta guitar mereka dengan improvisasi yang luar biasa.

Empat puluh lima menit waktu berlalu dan pagelaran belum menunjukkan tanda-tanda selesai. Diantara jeda lagu, Faisal menoleh kepada Aysha dan berkata, “Sudah cukup, mari kita pulang!”

Dengan sedikit kaget Aysha berkata, “Aku menikmatinya. Biarkan pagelaran ini berakhir sampai selesai!” jawabnya.

Dalam perjalanan pulang dengan berjalan kaki, udara DC semakin terasa sejuk malam itu. Temaram lampu penerang jalan dan hembusan angin musim semi terasa hadir. Jelas terlihat daun-daun pepohonan yang baru belajar tumbuh kembali setelah lama harus meredam diri dari cuaca yang tidak bersahabat di musim dingin. Faisal meminta waktu untuk mengenakan pullovers yang telah dibawanya sejak tadi. Aysha memperhatikannya.

Faisal bertanya kepadanya, “Anda terlihat begitu menikmatinya? Apa yang anda rasakan? “

“Keindahan.” Jawab Aysha dengan rona senyum yang menghiasi.

“Bukankah untuk menjadi seorang muslim yang baik, anda harus merasakan hal yang sama?”

“Jika anda saat ini tahu bahwa dengan mendengarkan musik Jazz anda akan merasakan keindahan, demikian juga dengan agama yang anda yakini harus dapat membuat diri anda merasakan keindahan yang selalu menyertai kehidupan anda.”

Faisal melanjutkan, “Manusia terkadang melakukan sesuatu tanpa menyadari kenapa ia harus melakukannya dan untuk apa ia melakukannya? Ia selalu terjebak dalam ritual ibadah sehari-hari yang tidak berarti apa-apa baginya. Ia setengah terpaksa melakukannya tanpa mengerti makna dan tujuan!”

“Pemain musik jazz tadi berimprovisasi dengan segala daya yang mereka miliki agar lantunan nada yang keluar terdengar merdu. Hal itu bukan sesuatu yang mudah. Mereka dapat melakukannya karena mereka punya ilmu.”

“Demikian juga bagi kita dalam menjalani hidup ini. Kita harus memiliki ilmu. Kita dituntut untuk mengenal Allah, mengenal ajaran Rasul-Nya dan Kitab-Nya yang mulia sebagai pegangan hidup. Mengerjakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan segala larangan. Jika ini telah kita lakukan, maka kita akan merasakan bahwa setiap skenario kehidupan yang kita jalani bagai sebuah symphony yang penuh dengan keindahan.”

“Seperti pemusik Jazz tadi dalam berimprovisasi?” Tanya Aysha.

“Benar”  Jawab Faisal.

“Islam berasal dari kata “salam” yang berarti “damai”. Dalam kedamaian akan terpancar keindahan. Sesuatu yang seharusnya dirasakan oleh setiap pemeluknya. Allah telah menentukan skenario hidup bagi setiap manusia yang kita sebut dengan takdir. Kita harus memahami bahwa skenario hidup itu juga merupakan ujian hidup. Kita harus trampil dalam berimprovisasi agar segala ujian hidup itu dapat terlewati dengan baik.”

“Bagi sebahagian hamba Allah, ujian itu hanya berbentuk kesusahan saja. Jika ia mendapat kemapanan dan kebahagian, itu bukan ujian hidup. Padahal tidak demikian adanya. Mushibah, kemapanan, kecukupan, kekurangan kesedihan dan kegembiraan semua itu adalah ujian hidup! Ketika kita mendapat nikmat, kita harus mensyukurinya. Ketika sesuatu datang dan membuat hati ini perih, justru kesabaran yang harus diutamakan.” Jelas Faisal lagi.

Aysha tersenyum puas mendengarnya seraya berkata, “Terima kasih banyak! Semoga Allah membalas kebaikan anda.”

ooOOOoo

Hari demi hari berlalu setelah pertemuan itu. Di suatu sore menjelang matahari terbenam. Semburat kemerahan di langit telah jelas kembali terlihat membuat Faisal bergegas pergi ke musholla kecil kampusnya untuk melakukan shalat Maghrib.

Di lorong kosong di depan mushola tersebut, terlihat seseorang dengan wajah yang sangat dikenalnya…seolah menunggunya. Ia tersenyum dan Faisal membalas senyumnya.

“Assalamualaikum. Aku akan shalat Maghrib!” Sapa Aysha.

Faisal terlihat gembira mendengarnya dan bergumam memuji kebesaran Allah yang telah memberi hidayah kepada seorang hamba-Nya.

ooOOOoo

Sejak peristiwa itu mereka sering terlihat meluangkan waktu bersama disela kesibukan masing-masing. Semakin hari Aysha semakin rajin untuk mengunjungi mushola kecil kampus mereka untuk melakukan shalat dan sekedar bertegur sapa dengan Faisal. Terkadang mereka meluangkan waktu untuk sekedar makan siang atau malam sembari berdiskusi. Aysha berusaha belajar banyak tentang Islam dari seorang Faisal yang terlihat lembut dalam perangai dan memiliki wawasan yang luas serta kesabaran yang mewarnai setiap langkah yang diambilnya. Aysha merasakan keindahan hari-hari yang dilaluinya walaupun Faisal terkesan menjaga jarak kedekatan mereka. Terlihat ada suatu hambatan psikologis yang dialami Faisal untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar tertarik kepada Aysha. Hal ini berbeda jauh dari apa yang dilakukan oleh Aysha. Pandangan mata berbinar-binar, bahasa tubuh dan senyuman yang selalu terangkai di wajahnya hingga kerelaannya untuk meluangkan waktu menunggu Faisal menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang menggunung yang harus dikerjakannya di Lab komputer ataupun di perpustakaan kampus. Semua itu membuktikan ada sebuah cinta yang tumbuh di hati Aysha terhadap Faisal tapi sepertinya tidak berbalas.

Aysha berusaha untuk mengungkapkan kepada Faisal apa yang dirasakannya, tapi ia tidak memiliki keberanian. Ia sangat menikmati hari-hari yang dijalani dan baginya lebih baik menunggu Faisal untuk lebih dahulu mengatakannya. Walaupun demikian, ia selalu memperlihatkan perhatiannya kepada Faisal sampai akhirnya hal yang ditunggu-tunggunya itupun datang.

Dalam suatu kesempatan bertemu setelah shalat Isya, Faisal mengajak Aysha untuk makan malam di sebuah pizzaria yang berada di kampus. Awalnya mereka terlibat pembicaraan tentang sepasang mahasiswa yang berasal dari Saudi Arabia yang sama-sama mereka kenal. Keduanya saling berkenalan di mushola kampus dan sering terlihat di sana. Dua hari yang lalu keduanya melangsungkan pernikahan di Islamic Center Washington DC. Keduanya adalah mahasiswa program S-1 yang masih berusia 20 tahun-an. Faisal dan Aysha sama-sama di undang dalam acara pernikahan yang berlangsung sederhana itu, tapi keduanya tidak dapat hadir karena kesibukan masing-masing. Faisal harus menghadiri salah satu sesi mata kuliahnya sedangkan Aysha harus bertugas di GW University Hospital, rumah sakit yang menjadi tempat praktek sebagai mahasiswa kedokteran tingkat akhir.

Aysha bertanya kepada Faisal tentang konsep sebuah pernikahan dini dalam Islam. Faisal berusaha menjelaskannya.

“Dasar dari sebuah pernikahan itu adalah kebutuhan…. Kebutuhan untuk saling mengasihi dan memberi. Jadi bukan hanya sekedar penyaluran nafsu sesuai jalan yang benar ataupun untuk memperoleh keturunan.”

Faisal melanjutkan, “Al Quran selalu menekankan pada kesiapan dari kedua belah pihak. Siap secara mental dan juga materi. Seorang yang tidak siap dalam hal  memberi nafkah istrinya, pernikahan tidak diwajibkan untuknya. Demikian juga seorang wanita yang belum cukup dewasa untuk menikah, tidak diwajibkan untuk menikah.”

“Bukankah Rasulullah menikahi Aisyah yang masih muda belia?” Tanya Aysha.

“Allah yang memerintahkan Nabi untuk menikahi Aisyah. Walaupun begitu Nabi tidak langsung tinggal bersama Aisyah, tapi menunggu beberapa tahun kemudian sampai Aisyah dewasa. Dan hal itu terjadi setelah peristiwa Hijrah.”

Faisal tidak meneruskan penjelasannya. Ia larut dalam pikirannya sendiri sampai akhirnya ia berkata,

“Aysha….Aku ingin menyampaikan sesuatu kepada kamu tentang hubungan kita……Aku ingin kamu menganggapku sebagai teman dan tak lebih dari itu!”

Aysha terdiam mendengarnya. Seolah tak percaya. Ada jeda yang panjang. Aysha dan Faisal sama-sama menunggu reaksi masing-masing tapi keduanya tidak ingin berkata apapun. Akhirnya Faisal melanjutkan.

“Kita datang dari budaya yang berbeda dan aku khawatir orang-orang yang menyayangi kita tidak akan dapat menerimanya.”

“Maksudmu?” Tanya Aysha

Aysha…..Dari apa yang kamu sampaikan kepadaku, aku mengerti bahwa Ibu dan Ayahmu berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Mereka dapat saling menyayangi karena mereka tinggal di negeri ini. Tapi mereka mengalami hambatan ketika Ayah dan Ibumu harus kembali ke Turki. Kamu pernah menyampaikan sendiri bagaimana Ibu mu yang orang Amerika harus belajar banyak tentang budaya Turki dan tetap saja dianggap asing oleh orang tua dan saudara-saudara Ayahmu sendiri. Ibumu tidak pernah betah untuk tinggal di Turki dan akhirnya Ayahmu memutuskan untuk kembali ke Amerika dan menjalani hidup mereka disini. Bukankah begitu, Aysha?”

“Apa hubungannya hal itu dengan kita, Faisal? Kita hidup di sebuah zaman yang berbeda dengan mereka” Tanya Aysha.

“Zaman telah berubah, Aysha….Tapi pemikiran tetap saja sama. Aku datang dari sebuah budaya yang masih mengharuskanku untuk menikahi seorang wanita yang sama akar budayanya denganku. Walaupun Islam tidak pernah melarangnya. Aku memiliki orangtua dengan pemikiran yang masih tradisional.”

Aysha Menghela nafasnya dan terlihat airmatanya mulai menggenang dengan raut wajah yang kusut.

“Aysha….Aku tidak ingin hal-hal lebih jauh terjadi pada kita….Hal yang menyebabkan kita sulit untuk membuat keputusan.” Jelas Faisal

Suasana yang ramai di Pizzaria itu tidak membawa keceriaan sedikitpun pada Aysha dan Faisal. Keduanya hanya saling diam dan Faisal tidak ingin berkata apapun lagi agar terhindar dari menyakiti hati Aysha lebih jauh.

“Faisal…..aku mungkin bisa memahami apa yang ada dalam pikiranmu. Aku berharap banyak dari apa yang telah sama-sama kita lalui beberapa minggu ini. Aku ingin menjadi bagian dari dirimu dan berharap hal yang sama darimu. Tapi rasanya semua itu tidak mungkin bagi kita. Dari awal pertemuan kita, aku dapat merasakan ada sesuatu di dirimu yang engkau biarkan tertutup untuk siapapun kecuali dirimu sendiri.”

“Tidak ada yang aku tutupi, Aysha…..” Jawab Faisal.

“Aku seorang wanita, Faisal….Aku merasakan hal ini…Sepertinya kamu selalu menjaga jarak denganku….Seolah-olah seseorang selalu mengawasimu dan kamu amat takut untuk berbuat salah.”

“Aku tidak sedang membina hubungan dengan orang lain…..” Jelas Faisal.

“Aku tidak menuduhmu demikian, Faisal…..Aku hanya merasakan sosok seseorang yang tetap hadir mengawasi walaupun ia tidak bersamamu. Kamu banyak memikirkannya. Bukankah demikian?” Tanya Aysha

Faisal diam dan tidak menjawab apapun.

“Ibumu?” Tanya Aysha.

“Ada apa dengan Ibuku? Ia berada ribuan kilometer jaraknya denganku. Ia tidak pernah tahu apa yang aku lakukan disini!” Jawab Faisal penuh ketegasan.

“Faisal, cobalah untuk terbuka kepadaku….” Ada jeda yang panjang bagi Aysha untuk menyampaikannya.

Faisal masih terdiam untuk beberapa saat dan akhirnya berkata,

“Aysha…Dalam menjalani kehidupanku, aku berusaha untuk menghormati kedua orang tua ku…..Terutama Ibu ku…..Ketika aku berangkat ke Amerika, Ibuku pernah mengatakan satu hal kepadaku yang sulit untuk aku lupakan…..”  Kembali Faisal terdiam lama sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya.

“Ibuku pernah berkata: ‘Raihlah cita-cita yang ingin engkau raih. Ibu hanya memiliki satu permintaan saja…..Pergi sendiri, pulanglah sendiri juga….Jangan pernah menikahi wanita yang berbeda jauh denganmu.’”

Faisal menghela nafasnya dan melanjutkan,

“Aku menghormati Ibuku dan aku tidak ingin mengecewakannya.”

Butiran airmata itu mulai jatuh membasahi wajah Aysha. Ia tidak berusaha untuk menyekanya. Seolah membiarkan hal itu terjadi agar Faisal  memahami apa yang dirasakannya.

“Selama ini setiap kali kamu bercerita tentang Ibumu kepadaku, aku dapat mengerti betapa dekatnya hubunganmu dengannya. Aku menghargainya. Tapi selalu ada sebab kenapa hal itu terjadi. Aku ingin sekali mendengar kisahnya, Faisal…..Apa yang menjadikan sosok ibumu sangat berpengaruh dalam dirimu?”  Tanya Aysha.

“Aysha, Maafkan aku jika keputusan yang aku buat mengecewakanmu…..Tapi begitulah adanya. Aku berharap dalam hidupku, aku tidak akan pernah mengecewakan ibuku. Aku berharap akan sebuah kehidupan yang berkah. Sebuah kehidupan yang selalu membahagiakan dan menentramkan…dan aku sangat yakin semua itu hanya dapat kuraih dengan membahagiakan seorang Ibu yang telah banyak menderita dalam hidupnya….”

Kalimat Faisal terhenti sampai disitu dan lama ia terdiam sampai akhirnya ia kembali berkata, “Aku akan bercerita tentang Ibuku, kuharap hal ini akan dapat menjadi jawaban dari rasa ingin tahu mu.”

Note:


[1] Perkumpulan pelajar muslim yang selalu ada di setiap universitas-universitas di Amerika yang mewadahi setiap kegiatan-kegiatan agama Islam di kampus maupun di luar kampus

[2] Studi perbandingan agama untuk mempelajari konsep keimanan dari agama-agama besar dunia seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Yahudi

 

 

 

Bagian 3:  PERTEMUAN YANG TAK TERDUGA

Union Station, Washington DC, 25 Januari 1997. Faisal menyewa kendaraan untuk menjemput tamunya. Ia menyewa sebuah mobil sedan ukuran sedang dari perusahaan penyewaan kendaraan AVIS yang selalu menjadi langganannya.

Ketika ia memulai kuliahnya setahun yang lalu, sang Ayah memberinya uang beberapa ribu dollar untuk membeli sebuah mobil. Faisal tidak menginginkan hal itu. Ia menemukan bahwa kota Washington DC adalah sebuah kota yang cukup bersahabat bagi pejalan kaki. Demikian juga ketersedian transportasi publik yang sangat baik dan dapat diandalkan. Terdapat Jalur kereta bawah tanah yang disebut Metro yang dapat mengantarkannya kemana ia suka. Demikian juga dengan bus kota yang memiliki jaringan luas. Jika ia ingin menikmati perjalanan keluar kota ataupun memiliki keperluan yang cukup mendesak, ia dapat menyewa kendaraan yang cukup baik dengan kisaran harga $40 – $60 per hari.

Uang yang diperolehnya dari sang Ayah dipergunakannya untuk mencoba peruntungan kecil berinvestasi di pasar modal. Ia membeli saham perusahaan semacam Boeing dan Dell Computer yang ketika itu sedang naik daun dengan harapan ia memperoleh keuntungan yang dapat menjadi tabungan masa depannya sekaligus belajar mengelola sebuah investasi.

Waktu menunjukkan pukul 11.53 siang hari. Awan mendung bergelayutan ketika Faisal memasuki area parkir kendaraan di Union Station Washington DC. Union Station adalah sebuah stasiun kereta api klasik yang terlihat megah. Stasiun ini dibangun pada 1901 dan mulai melayani penumpang pada 1907. Dirancang bergaya Romawi klasik dengan pilar-pilar melengkung yang kaku dan tinggi. Stasiun ini telah mengalami renovasi bagian interiornya pada tahun 1986 sehingga terlihat modern dan menjadi salah satu tujuan wisata yang amat memikat. Tempat ini dikunjungi oleh lebih dari tiga puluh juta orang setiap tahunnya. Mulai dari departement store hingga puluhan toko antik kecil berjejer rapi didalamnya bagaikan di sebuah pusat perbelanjaan moderen. Beberapa restaurant dan café juga ikut hadir disamping beberapa teater yang memutar film-film Box Office. Tidak ketinggalan pula ‘food court’  yang luas di ‘basement’  untuk memudahkan siapa saja menikmati kunjugan ke stasiun bersejarah ini.

Bagi kota Washington, DC, stasiun ini merupakan urat nadi transportasi publik yang menghubungkannya dengan kota-kota disekitarnya seperti Boston, New York, dan Philadelphia.  Walaupun berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus jadwal penerbangan dapat dipilih untuk berpergian ke kota-kota tersebut, banyak dari warga kota maupun wisatawan memilih untuk menggunakan moda transportasi kereta api yang nyaman, cepat dan efisien. Terlebih ketika musim dingin berlangsung. Salju yang turun dengan lebat dapat menjadikan jadwal penerbangan tertunda tapi tidak demikian dengan jadwal perjalanan kereta api.

Faisal memarkirkan kendaraannya dan bergegas memasuki koridor stasiun yang luas. Ia menuju ke ruang tengah stasiun dimana papan pengumuman Electronic Billboard tergantung tepat diatasnya. Papan ini memuat jadwal kedatangan dan keberangkatan kereta yang berubah dengan cara berputar hampir setiap setengah menit sekali. Ia teringat pada perkataan Bundanya yang memintanya untuk menjemput Tara Soewardi di bandara. Pikirannya tertuju pada kebiasaan orang-orang di negerinya yang menempatkan kereta api sebagai moda transportasi kelas dua dan tidak penting. Seolah-olah selalu identik dengan ketidaknyamanan dan kekotoran. Padahal di negeri maju seperti Amerika, moda transportasi ini sangatlah diminati dan membawa kenyamanan tersendiri bagi siapa saja yang memanfaatkannya.

Ia melirik jam tangannya yang masih menunjukkan pukul 12.05 siang hari. Ia memanfaatkan waktu tunggu yang tersisa untuk berjalan menuju foodcourt yang berada di basement. Perutnya yang mulai terasa keroncongan memaksanya untuk mencari sesuatu yang dapat dinikmati dengan cepat dan sederhana. Ia mendapatkan counter ‘Subway’. Sebuah counter makanan cepat saji yang menawarkan bermacam-macam sandwich. Ia memesan sandwich tuna kesukannya dan menikmatinya dengan segelas jus apple.

ooOOOoo

Ketika pengumuman itu berkumandang, Faisal telah siap dengan sebuah kertas ukuran A4 putih bertuliskan nama TARA SOEWARDI yang semuanya berhuruf kapital dan ditulis dengan memakai spidol hitam. Ia menanti di depan pintu nomor 12. Nomor pintu yang merupakan tempat kedatangan kereta Metroliner 2105 dari New York. Bersama penjemput lain yang bergerombol, Faisal menanti dengan sabar. Para penjemput dengan tertib memberi ruang agar penumpang yang datang dapat leluasa keluar tanpa hambatan.

Setelah beberapa saat, pintu kedatangan nomor 12 itu mulai terlihat lengang. Belum ada tanda-tanda Faisal berhasil menemui tamunya. Ia tetap setia berdiri memegang ‘sign’ kertas yang ada di dadanya sembari melirik jam tangannya. Lebih lima belas menit telah berlalu. Ia menghela nafasnya dan berpikir untuk duduk sebentar di salah satu kursi di ruang kedatangan itu.

Ketika ia hampir beranjak dari tempatnya berdiri, sebuah lambaian tangan tertangkap oleh indera penglihatannya yang berasal dari seorang wanita dalam balutan busana musim dingin warna gelap sembari menarik koper.

“Hai….Saya Tara. Terima kasih sudah menjemput saya.”

Belum sempat Faisal menjawab sapaannya, terlihat dua orang wanita dibelakang Tara mengikutinya dengan koper masing-masing. Salah satunya terlihat lebih jangkung dari ketiganya.

“Sama-sama.” Jawab Faisal sembari melihat Tara menyodorkan tangannya untuk berjabatan dalam balutan sarung tangan musim dingin.

Awalnya Faisal enggan menyambut jabat tangan tersebut. Ia berusaha menghindari jabat tangan dengan wanita karena keyakinan agamanya. Tapi sarung tangan yang dipakai Tara membuatnya sedikit leluasa untuk menerimanya.

“Perkenalkan, ini teman-temanku yang akan sama-sama menjalani internship di VOA…..Ini Hani dan Laksmi.”

“Laksmi” Faisal bergumam dalam hatinya. Seorang wanita jangkung dengan rambut lembut sehitam batubara yang bersinar. Wajahnya memiliki guratan-guratan kecantikan yang tak terbantahkan. Memiliki alis mata tebal yang hampir bertaut ditengahnya dan tatapan mata warna cokelatnya yang lembut tapi penuh ketegasan….Dengan bulu mata yang tersusun dan hidung khas seorang wanita Jawa yang membulat indah.

Jantung Faisal berdegup keras ketika menyentuh balutan sarung tangan musim dingin Laksmi yang berwarna merah merona. Mereka berjabat tangan….Tatapan mata mereka bertemu. Sesaat…..Dan hanya untuk sesaat.

Dengan seluruh kekuatan yang ada pada dirinya, Faisal berusaha untuk tenang dan tidak menunjukkan sebuah kegugupan. Seluruh kejadian itu berlangsung amat singkat.

Disisi yang lain, Laksmi hampir tidak percaya akan apa yang ia lihat dihadapannya. Seorang pria dengan wajah bersih nan teduh dan bersahaja. Sorot mata tajam dan dada yang terlihat bidang walaupun dalam balutan pulover tebal ditubuhnya. Dari wajahnya yang teduh tampak jelas guratan kematangan jauh dari kesan angkuh. Laksmi menundukkan pandangannya dan melepaskan jabat tangan Faisal yang masih menyentuh sarung tangannya. Ia berusaha mundur beberapa langkah.

“Harus saya antar kemana?” Tanya Faisal kepada Tara yang berdiri disampingnya. Faisal masih berdiri tepat di depan Laksmi.

“Kita harus ke tempat penginapan. Fullerton House di 19th street.” Jawab Tara sambil mengeja alamat yang ada di catatannya.

“Kalau begitu sebaiknya kalian saya antar ke lobby depan terlebih dahulu, untuk kemudian saya akan mengambil mobil di area parkir!” Jawab Faisal

Mereka jalan beriringan. Faisal paling depan bersama Tara. Laksmi dan Hani mengikuti keduanya dari belakang.  Faisal bertanya tentang keadaan orang tua Tara dan bertukar sapa akan rencana kegiatannya selama di Washington DC. Laksmi terus memperhatikan Faisal dari belakang sembari menarik kopernya yang lumayan berat. Akhirnya mereka sampai di depan stasiun yang megah dan indah itu untuk kemudian menunggu Faisal mengambil mobil dari area parkir. Selama perjalanan menuju penginapan, Tara duduk di depan bersama Faisal sedangkan Laksmi dan Hani menempati kursi di belakang.

“DC tidak sedingin New York” Ungkap Faisal memulai pembicaraan. Menggunakan kata DC sebagai singkatan dari Washington DC yang selalu dipergunakan penduduknya dalam menyebut kota itu.

“Tapi tetap saja masih bersalju” Jawab Tara menimpali.

“Tadi malam turun salju yang cukup lebat. Siang ini tampak kembali mendung. Mudah-mudah akan cerah kembali.” Jawab Faisal.

1124 Fullerton House di 19th Street adalah sebuah Service Apartment yang menjadi asrama bagi siapa saja yang ikut dalam winter internship di Radio Voice of America (VOA). Pesertanya berasal dari seluruh dunia. Mereka mendaftar di negara masing-masing untuk kemudian mengikuti beberapa test. Salah satunya adalah TOEFL. Mereka harus mendapat score minimum 580. Mereka yang dinyatakan lulus akan mengikuti intership selama 6 bulan, yang dimulai pada musim dingin dan berakhir pada musim panas. Peserta harus berbaur dalam segala hal, termasuk dalam hal menempati asrama. Satu apartment yang memiliki satu kamar tidur diisi masing-masing dua orang yang berbeda kebangsaan atau asal negara.

Dari percakapan ketika berada di kendaraan menuju tempat penginapan, Faisal mengetahui bahwa Tara dan Hani baru saja lulus dari Universitas Indonesia Fakultas Ekonomi. Tara berasal dari Medan. Hani dari Jakarta. Sedangkan Laksmi berasal dari Yogyakarta. Laksmi telah 3 tahun lulus dari Fakultas Psikologi UGM dan telah bekerja di Jakarta sebelumnya.

Faisal mengeluarkan koper-koper dari bagasi kendaraan dan membantu mereka membawanya ke lobi apartment. Sekali lagi Faisal memandang ke arah Laksmi dan Laksmi membalas tatapan Faisal itu.

“Ada lagi yang perlu saya bantu? “ Tanya Faisal.

Mereka serempak menggelengkan kepalanya.

“Besok adalah hari orientasi bagi kami tapi kami masih perlu bantuan mas Faisal untuk menunjukkan kepada kami tempat yang penting untuk dikunjunngi……terutama tempat shoppingnya.” Jawab Tara sembari tertawa.

Faisal tersenyum dan berkata, “Kalau begitu hari Sabtu saja nanti. Insya Allah, saya akan antarkan keliling-keliling. Tapi enaknya dengan Metro[1] saja. Lebih cepat dan efisien. Tidak apa-apa kan?”

Kali ini giliran Laksmi yang menjawab. “Tidak apa-apa Mas. Kami justru ingin sekali mengetahui cara menggunakan transportasi publik disini.”

“Baiklah kalau begitu. Saya pamit dahulu. Apartmen saya hanya berjarak tiga blok[2] dari sini. Dekat sekali. Saya tinggalkan nomor telepon saya agar mudah dihubungi.” Faisal mengambil kertas dari kantongnya untuk kemudian menulis alamat dan nomor teleponnya. Ia menyerahkan kepada Tara.

“Insya Allah, hari Sabtu jam 9.00 pagi saya akan kemari. Oya, sebelum pamit, saya mau menyampaikan bahwa hari Minggu atau Senin mendatang adalah awal Ramadhan. Insya Allah, hari Sabtu nanti akan saya bawa jadwal shalat dan imsyakiah-nya. Wassalamualaikum.”

ooOOOoo

“Dari mana kita mulai” Tanya Faisal ketika mereka bertemu kembali di hari Sabtu.

“Terserah mas Faisal saja. Kalau saya yang penting adalah tempat shoppingnya.” Jawab Tara.

“Kita akan pergi ke National Mall terlebih dahulu dan setelah itu kita akan melihat White House dan terakhir ke Georgetown yang banyak tempat shopping nya.” Jelas Faisal.

National Mall adalah sebuah taman nasional yang berlokasi ditengah kota Washington DC. Tempat dimana berkumpulnya monumen-monumen yang menjadi bagian dari sejarah Amerika. Di ujung sebelah barat terdapat monumen Lincoln Memorial dan diujung sebelah timur terdapat Capitol Buiding[3]. Diantara kedua bangunan ini banyak terdapat museum yang dinamakan dengan The Smithsonian. Tepat ditengah dari National Mall ini terdapat Washington Monument, sebuah tugu peringatan bergaya arsitektur mesir kuno yang menjulang membentuk pyramid pada ujungnya. Sebelah utara dari taman nasional ini terdapat White House yang merupakan kediaman resmi presiden Amerika dan sebelah ujung selatannya terdapat Jefferson Memorial yang dibangun untuk mengenang presiden Amerika yang ke-3 yang sangat berjasa dalam menulis Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang terkenal itu.

Faisal tampak bersemangat menunjukkan semua itu kepada Tara, Hani dan Laksmi tapi dari ketiganya hanya Laksmi yang terlihat antusias untuk mengetahui dan mengamati lebih jauh. Dan hal ini membuat Faisal lebih banyak memiliki kesempatan untuk berbicara dengannya.

Laksmi terlihat menyandang tas ransel khusus yang berisikan peralatan photography. Ia terlihat mahir sebagai seorang photographer dan memiliki peralatan yang sangat mendukung. Ia selalu mengandalkan jepretannya pada kamera Nikon F4 yang telah menjadi koleksinya lebih dari dua tahun. Laksmi selalu berusaha mendapatkan objek bidikannya dengan seksama dan terlihat sesekali mengganti lensa kameranya untuk menyesuaikan dengan objek yang menjadi incarannya.

Ketika mereka beristirahat sebentar untuk makan siang disebuah cafétaria kecil di dalam gedung Museum of Natural History, Faisal meminta izin sebentar untuk menunaikan kewajibannya shalat Dhuhur. Sudah menjadi kebiasaannya untuk mencari tempat yang cukup aman baginya untuk dapat mengerjakan shalat. Menemukan sebuah mushola adalah sesuatu yang mustahil di negara ini. Kali ini ia mendapatkan sebuah tempat di tangga darurat gedung museum tersebut. Ia meminta izin kepada petugas keamanan yang berjaga dan dengan tersenyum, sang penjaga mengizinkannya.

Ketika hari beranjak sore, perjalanan mereka lanjutkan ke Georgetown. Sebuah distrik yang penuh dengan toko-toko, restaurant, bar dan café disepanjang jalan utamanya. Faisal membawa mereka ke Georgetown Park shopping center, dimana lebih 80 toko ‘Branded’ berada di dalamnya. Faisal membiarkan ketiganya untuk menikmati waktu belanja mereka dan beranjak untuk memasuki Starbuck Café. Mereka janji bertemu di tempat ini kembali satu setengah jam berikutnya.

Faisal memesan ‘mint tea’ dan beranjak ke rak majalah untuk menemukan sesuatu yang dapat ia baca demi mengusir kesenjangan waktu yang harus ia lalui. Ia mengambil sebuah majalah Fortune edisi terkini dan menuju ‘delivery counter’ untuk mengambil pesanannya. Ia mencari tempat duduk yang ideal untuk membaca. Hal yang tak sulit untuk ia dapatkan. Ia membolak balikkan halaman demi halaman majalah tersebut untuk mencari artikel yang menarik hatinya. Tanpa ia sadari, seseorang berjalan menuju kepadanya dan berhenti tepat disamping kursinya.

“Mas Faisal. Bolehkah aku bergabung dengan anda? Aku tidak begitu menyukai shopping.”

“Laksmi.” Gumam Faisal. Ia terdiam sebentar dan dalam keadaan yang sedikit gugup, ia berkata, “Tentu saja boleh. Silahkan duduk…..biar aku pesankan minuman.”

“Tidak usah, Mas. Aku akan pesan sendiri.” Jawab Laksmi sambil tersenyum dan menuju counter pemesanan.

Faisal menutup majalahnya dan menunggu Laksmi untuk kembali ke meja tempat ia berdiam. Kali ini tanpa ragu ia memandang ke arah Laksmi yang mengenakan jaket musim dingin berwana hitam dan sal merah yang terlilit dilehernya yang jenjang. Rambutnya tersanggul rapi dalam ikatan penjepit berbahan metal yang sedikit mencolok diatasnya. Ia tidak memakai make up sama sekali kecuali balutan lipstik  tipis berwarna merah pucat menghiasi bibirnya. Terlihat jelas rona wajahnya yang cerah.

“Sungguh cantik…” Gumam Faisal dalam hatinya.

Ia tersenyum ke arah Faisal yang menantikan kedatangannya dan Faisal membalas senyumnya.

Kecanggungan pada diri mereka masing-masing tampak hadir di awal obrolan. Masing-masing berusaha menahan untuk tidak menonjolkan diri dan lebih banyak memilih untuk diam.

“Aku dengar kamu dari Jogja? Apakah orangtua kamu masih tinggal disana?” Tanya Faisal.

Laksmi menganggukkan kepalanya dan berkata, “Bapakku seorang dosen di Fakultas Ekonomi UGM dan tinggal sendiri disana. Semenjak tamat dari Fakultas Psikologi UGM, aku pindah ke Jakarta dan hanya kembali ke Jogja disaat akhir pekan, libur atau cuti.”

“Ibu?” Tanya Faisal.

Laksmi tidak langsung menjawab. Ia menghela nafas panjang. Ada jeda beberapa saat sebelum ia menjawab pertanyaan Faisal.

“Aku tidak pernah mengenal ibuku. Ia meninggal ketika melahirkanku.” Pandangan Laksmi merunduk saat mengatakannya.

“Astaghfirullah, maafkan aku telah bertanya.” Jawab Faisal

“Tidak apa-apa, Mas. Pertanyaan mas Faisal mengingatkanku pada Bapak ku….Biasanya dalam sebulan aku usahakan untuk kembali ke Jogja menjenguknya terutama di akhir pekan. Terkadang ia yang menjengukku jika ada urusan yang mengharuskannya datang ke Jakarta. Sepertinya aku tidak akan bertemu dengannya untuk enam bulan ke depan. Mudah-mudahan ia baik-baik saja.”

“Tidak ada yang menemaninya?”  Tanya Faisal.

“Tidak ada….Sejak Ibuku meninggal lebih dari 25 tahun yang lalu, Bapak ku tidak menikah lagi. Ia mengurusku sendiri walaupun ketika masih bayi, aku dititipkan dan disusui oleh sepupu Bapakku yang saat itu juga memiliki seorang bayi. Kami berbeda usia hanya beberapa hari.”

“Subhanallah…” Jawab Faisal.

Laksmi melanjutkan kisahnya, “Bapakku sangat mencintai Ibuku. Mereka harus menunggu lama untuk kehadiranku. Sebelas tahun setelah menikah, baru Ibuku hamil. Mereka hampir putus asa. Dan ketika aku lahir, Ibuku harus pergi meninggalkan aku dan Bapak.” Terlihat wajah Laksmi yang berubah sendu dan mata yang berkaca-kaca. Ia menggigit ujung bibirnya dan berusaha menahan diri untuk tidak mengeluarkan air mata.

“Terkadang aku merasa bersalah….bersalah karena akulah penyebab ibuku meninggal. Ibuku mengalami pendarahan hebat pasca kelahiranku. Jiwanya tidak tertolong lagi.”

“Dalam usianya yang ke berapa?” Tanya Faisal.

“Ketika meninggal, Ibuku berusia 36 tahun. Ibu dan Bapakku hanya bertautan usia beberapa bulan. Ibuku seangkatan dengan Bapak ku ketika mereka sama-sama kuliah di fakultas Ekonomi UGM.” Jawab Laksmi

Mata Laksmi yang cokelat terlihat masih berkaca-kaca. Faisal memperhatikannya. Ia berusaha menahan diri untuk tidak mengatakan sesuatu tapi ia tak sanggup.

“Laksmi….umur manusia adalah bagian dari takdir Allah. Jika sampai waktunya setiap kita akan menemui ajal tanpa dapat kita tunda sedikitpun….Hanya sebabnya yang berbeda-beda. Janganlah pernah merasa bersalah akan hal ini.”

Laksmi berusaha untuk tersenyum dan berkata “Memang benar, Mas.”

“Aku percaya akan sebuah takdir…takdir bagiku adalah sebuah ketentuan dari Sang Pencipta yang tidak dapat diganggu gugat. Hanya saja aku terkadang tidak melihatnya dari sudut pandang itu tapi dari sudut pandang seorang anak yang melihat pengorbanan seorang Bapak yang luar biasa besar untuk suatu kasih sayang…kasih sayang yang tulus dan tidak pernah memudar selama lebih dari dua puluh lima tahun. Ia bergumul dengan segala tantangan dan rintangan untuk membesarkanku sendirian dan tetap mencintai ibuku. Bagi Bapak ku, tidak ada seorang wanitapun yang dapat menggantikan peran ibuku sampai saat ini. Hal itu yang membuatku merasa bersalah…”

Ada jeda yang panjang kali ini diantara mereka berdua sampai akhirnya Faisal berkata,

“Ini adalah sebuah pengajaran yang luar biasa. Aku dapat memahami bagaimana seorang anak perempuan yang begitu mengidolakan sekaligus menyanyangi Bapaknya.”

Laksmi berkata, “Aku memang terlalu mengidolakan Bapak ku. Ia begitu sempurna bagiku.” Maafkan aku telah bercerita begitu banyak di depan mas Faisal. Aku tidak bermaksud untuk bercerita masalah keluargaku.”

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Laksmi. Aku senang mendengar cerita kamu. Sesuatu yang akan selalu menambah wawasanku. Setiap manusia hidup dalam kisahnya masing-masing dan kisah-kisah itu pasti memiliki hikmah tentang kekuasaan Allah yang begitu besar yang terkadang luput dari pikiran dan pemahaman kita.” Jelas Faisal dengan penuh kesungguhan.

Apa yang baru disampaikan oleh Faisal membuat Laksmi tertegun. Sepertinya Faisal dapat membaca pikirannya dan dapat membuat ruang dalam hatinya sehingga ia dengan mudah bercerita panjang lebar tentang keadaan Bapak dan almarhumah Ibunya. Ia merasa belum pernah melakukan hal yang sama kepada laki-laki yang baru dikenalnya.

Seolah amat mengerti dengan keadaan lawan bicaranya, Faisal mengalihkan topik pembicaraan ke hal lain.

“Kamu senang photography? Sejak kapan?” Tanya Faisal.

“Bapak yang mengajariku. Ia seorang professional photographer dan membelikanku kamera ketika aku berusia 10 tahun. Sejak itu minatku terhadap photography tidak pernah pudar. Ketika aku berkerja di Jakarta, aku mengambil beberapa kursus photography baik outdoor maupun indoor. Tapi aku lebih fokus pada outdoor photography”

“Pernah ikut pameran?” Tanya Faisal

“Pernah beberapa kali tapi tidak pameran tunggal….Bersama teman-teman dari komunitas pencinta photography” Jawab Laksmi.

Tak terasa pembicaraan mereka terus berlanjut sehingga waktu satu jam telah berlalu begitu cepat. Faisal meminta izin untuk beberapa saat menunaikan kewajibannya shalat Ashar. Tidak sampai sepuluh menit kemudian Faisal telah kembali dan duduk dihadapan Laksmi.

“Mas Faisal rajin sholat ya…Apa tidak susah harus melaksanakan kewajiban di negara non muslim seperti ini?” Mata Laksmi terlihat berbinar ketika menanyakannya.

Faisal tersenyum dan menjawab, “Kalau sesuatu sudah menjadi kebutuhan kita, tidak ada yang sulit atau berat. Cuma yang terjadi adalah kita belum menjadikan shalat sebagai kebutuhan kita sebagaimana makan atau minum.” Ada jeda yang mengikuti pernyataannya sebelum Faisal melanjutkannya kembali.

“Insya Allah besok atau hari Senin kita sudah mulai puasa. Malam ini aku coba untuk konfirmasi ke Islamic Center. Aku boleh minta nomor telp nya Laksmi supaya aku bisa memberi info kapan kita mulai puasa?”

“Tentu, Mas. Terima kasih sudah memberi kami jadwal imsyakiah Ramadhan tadi pagi. Aku sangat senang menerimanya.”

“Sama-sama.” Jawab Faisal sembari mengeluarkan handphone dari saku celananya. Ia meminta Laksmi untuk mengeja nomor telepon apartmen-nya.

“Setiap hari di bulan Ramadhan, ada acara buka puasa bersama di Student Center tempat aku kuliah. Tidak jauh dari Fullerton House. Cuma sekitar 3-4 blok. Jika ada keluangan waktu, kamu boleh datang, Laksmi.”

“Insya Allah, Mas. Intership di VOA berakhir jam 16.00 setiap hari. Aku tadi sudah lihat di jadwal Imsyakiah yang mas Faisal berikan, waktu Maghrib nya sekitar pukul 17.30 ya?”

“Benar” Jawab Faisal

“Insya Allah aku bisa datang….. Ada yang ingin aku tanyakan…Boleh?”

“Boleh saja?” Tanya Faisal sedikit ragu.

Belum sempat Laksmi melanjutkan pertanyaannya, Tara dan Hani muncul dan menepuk pelan pundak Laksmi. Laksmi terlihat kaget untuk sementara dan kemudian tersenyum.

“Ayo kita pulang….sudah sore.” Pinta Tara.

Dalam perjalanan pulang, mereka berempat setuju untuk berjalan kaki. Georgetown tidak terlalu jauh dari apartment mereka. Faisal dan Laksmi berjalan beriringan di depan sedangkan Tara dan Hani berjalan mengikuti. Tara dan Hani masih saja sibuk memperbincangkan secara hangat toko-toko yang ada di pusat perbelanjaan yang baru saja mereka kunjungi sembari menenteng tas-tas belanja berbagai merek. Mereka tidak terlalu memperhatikan apa yang terjadi dengan Faisal dan Laksmi di depan mereka.

Udara Washington DC mulai terasa menusuk tulang sore itu. Suasana mendung menyebabkan lampu-lampu jalanan telah terlihat menyala lebih awal. Demikian juga dengan banner-banner toko yang diterangi lampu warna warni sudah mulai terlihat berkilauan walaupun langit masih menyisakan sedikit cahaya matahari yang menerangi. Tumpukan-tumpukan salju masih terlihat disana-sini yang menyebabkan trotoar tempat mereka berjalan sedikit licin.

“Kamu suka baca buku?” Tanya Faisal.

“Suka sekali, Mas. Terutama novel.” Jawab Laksmi.

Faisal tersenyum sesaat dan berkata, “Di dekat sini ada sebuah toko buku yang sangat lengkap dan besar. Kalau mau, aku bisa mengantarkan kamu untuk melihat-lihat…..Barnes & Noble namanya.”

“Aku melihatnya tadi sewaktu kita menuju Georgetown. Dengan senang hati kalau mas Faisal bisa mengantarkanku.” Sunggingan senyum menghiasi wajah Laksmi, tanda sebuah keceriaan sedang hinggap di dirinya. Ada perasaan bergejolak di diri Laksmi yang tak dapat ia sembunyikan.

“Lain waktu, insya Allah akan aku antar. Sudah terlalu sore saat ini dan udara juga semakin dingin” Sambut Faisal.

Laksmi mengangguk sembari terus tersenyum. Dialog yang telah mereka bangun menjadi catatan tersendiri bagi Laksmi dan sulit untuk dilupakan.

Note:


[1] Transportasi umum di Washington DC berupa kereta bawah tanah

[2] 1 blok lebih kurang 200-300m

[3] Gedung parlemen amerika yang terdiri dari Senat dan DPR

 

 

 

Bagian 2:   KEMBALI KE MASA SILAM

Awal Januari 1997 di Washington DC, USA. Telepon itu berdering. Faisal masih berada di dapur studio apartment-nya yang kecil. Sebuah studio seluas 40m2 yang tidak memiliki sekat-sekat ruangan kecuali kamar mandi dan dapur. Waktu saat itu menunjukkan pukul 18.00. Saat dimana Faisal biasanya menyiapkan makan malam favoritnya sendiri berupa sandwich tuna. Ia bergegas mengangkat telepon itu.

“Assalamualaikum, Faisal…” Terdengar suara ibunya yang berada di belahan bumi lain yaitu di kota Medan.

“Walaikumsalam, Apa khabar Bunda?” Tanya Faisal.

Tanpa terasa mereka mulai mengobrol. Inilah saat yang selalu ditunggu-tunggu oleh Faisal. Ibunya menelpon dan mereka dapat berbagi cerita paling tidak untuk 15-20 menit ke depan.

“Ada yang penting ingin Bunda sampaikan, Nak! Kemarin Bunda bertemu dengan Tante Soewardi….Masih ingat kan?  Om Soewardi adalah teman Ayahmu satu kantor…..General Manager keuangan yang pernah beberapa kali bertemu dengan kamu?”

“Hmmm….Tentu, Bunda. Masih ingat kok!” Jawab Faisal sembari berusaha mengingat kembali beberapa pertemuan dengan teman orangtua nya itu.

Faisal adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Ketiga kakak nya adalah perempuan dan ia adalah anak laki-laki semata wayang orang tuanya. Ia menyelesaikan sarjana strata-1 (S1) nya di University of California Berkeley pada bulan Mei 1993 dan memperoleh gelar Bachelor of Science (BSc). Ia mengambil jurusan Architectural Engineering. Setelah mendapatkan gelarnya, ia kembali ke Indonesia dan diterima bekerja di salah satu perusahaan jasa konsultan arsitektur multinasional Amerika yang berkantor di Jakarta. Ia diterima bekerja hanya sebulan setelah kelulusannya. Ia ikut menangani sebuah proyek rancangan gedung perkantoran pencakar langit tertinggi di Jakarta.

Ia memutuskan untuk kembali ke Amerika pada bulan Agustus 1995 untuk mengambil gelar S-2 nya. Ia diterima di tiga universitas sekaligus. Almamaternya University of California Berkeley, Texas A & M University dan The George Washington University. Ketiga-tiganya merupakan perguruan tinggi yang memiliki reputasi baik di Amerika. Tapi dari ketiganya ia hanya dapat memilih satu diantaranya.

Faisal sedikit jenuh dengan suasana negara bagian California yang berada di pantai barat wilayah Amerika Serikat. Empat tahun lebih ia telah menjalani hari-harinya sebagai mahasiswa di Berkeley, sebuah kota kecil dengan penduduk tidak lebih dari 150 ribu jiwa yang berjarak kurang lebih 25 km dari kota San Fransisco. Faisal ingin merasakan sebuah suasana yang berbeda….Suasana kota di pantai timur Amerika seperti New York, Boston, Philadelphia dan Washington DC yang terkenal memiliki arsitektur bangunan tua yang menawan. Demikian juga halnya dengan budaya dan kebiasaan yang dianut penduduknya. Ada perbedaan kontras dalam hal nuansa kehidupan antara pantai barat dan timur Amerika. Masing-masing memiliki keunikan tersendiri.

Setelah beberapa kali melakukan shalat istikharah, Faisal berketetapan hati untuk memilih kuliah di George Washington University  yang berada di kota Washington DC. Ia berusaha menyakinkan kedua orangtuanya bahwa pilihannya adalah tepat. Ia mengambil spesialisasi jurusan project management yang merupakan bagian dari fakultas bisnis (school of business) dengan gelar Master of Science (MSc).

Keterlibatannya dalam menangani proyek rancangan gedung pencakar langit pada saat bekerja di Jakarta, membuatnya tertarik pada bidang manajemen proyek. Sebuah disiplin ilmu yang baru berkembang untuk merencanakan, mengawasi dan menjalankan segala sumber daya yang dibutuhkan dalam membangun suatu proyek konstruksi. Sebuah tantangan baru bagi dunia pekerjaan yang akan digelutinya dimasa mendatang.

“Faisal…..Kamu masih mendengarkan, Nak?” Tanya Ibunya.

Faisal tersentak dari lamunan yang membawanya jauh ke masa lalu.

“Tentu, Bunda…Tante Soewardi kan?” Jawab Faisal.

“Dia kan punya anak perempuan yang baru tamat dari UI dan mendapat kesempatan magang kerja di Radio VOA yang ada di Washington DC. Apa betul radio itu ada di Washington?” Tanya ibunya.

“Benar Bunda…Kapan datangnya?”

“Menurut Tante Soewardi, putrinya akan berangkat dari Jakarta tanggal 22 Januari, minggu depan. Bunda menawarkan kepada Tante Soewardi biar kamu yang menjemputnya di Bandara.”

Faisal tertawa dan berkata, “Bunda ini ada-ada saja. Pastinya orang-orang dari VOA sudah ada yang mengurusnya.” Jawab Faisal setengah mengelak.

“Tapi ngga apa-apa kalau memang keinginan Bunda seperti itu. Biar Faisal yang menjemputnya. Mohon diberitahukan rencana kedatangannya.” Tambahnya lagi.

Faisal selalu berusaha untuk tidak mengecewakan ibunya. Hubungannya dengan sang ibu begitu dekat. Bundanya adalah tumpuan baginya untuk berbuat kebaikan dan selalu merindukannya dalam jarak ribuan kilometer yang memisahkan mereka

Faisal bertanya dengan sedikit bercanda, “Namanya siapa?  Mudah-mudahan cantik ya, Bunda?” Derai tawanya mengiringi, diikuti oleh sang Ibu yang juga tertawa.

“Bunda ngga tahu, Nak….Belum pernah ketemu…Mudah-mudahan saja kamu berkenan. Om dan Tante Soewardi sudah jadi teman Ayah dan Bunda lebih dari 25 tahun yang lalu, ketika Ayahmu dan Om soewardi sama-sama baru mulai kerja di BUMN ini. Mereka sama-sama belum menikah ketika itu. Ayahmu menikahi Bunda terlebih dahulu sedang Om Soewardi menikahi Tante Enny itu beberapa tahun kemudian. Nasib menentukan lain. Ayahmu menjadi direktur keuangan dan kemudian direktur utama sedang Om Soewardi tetap pada jabatannya sampai sekarang.”

Ibunya melanjutkan, “Mudah-mudahan nggak jauh-jauh dari Tante Soewardi….Cantik dan Luwes…. Mana tau cocok…”  Disambut tawa keduanya.

Faisal amat menikmati pembicaraan mereka malam itu. Tak terasa waktu terus berjalan dan sebagai penutup sang ibu berkata,

“Faisal….Kamu tahu kenapa Bunda menawarkan kamu yang menjemput putrinya? Karena Bunda yakin kamu akan selalu dapat menjaga diri…..Dan yang penting…..kamu tidak akan mengecewakan Bunda…..”

Ada jeda setelah kalimat itu dan Faisal ingin sekali mengetahui maksud sebenarnya, tapi sang Ibu buru-buru mengakhiri pembicaraannya.

“Baik-baik ya Nak….Jaga dirimu….”

“Insya Allah, Bunda….Mohon doanya terus.” Jawab Faisal.

“Bunda selalu berdoa, Nak. Mudah-mudahan kamu selalu diberi kemudahan oleh Allah….Assalamualaikum…..”

Begitu setiap kali ibunya menutup pembicaraan telepon . Ada secercah senyum yang muncul di wajah Faisal. Ia merasakan kebahagiaan dapat bertukar sapa dengan sang Ibu. Ia kembali ke dapur untuk menyelesaikan roti sandwich tuna yang belum rampung ia buat ketika telepon tadi berdering. Kali ini pikirannya mulai dirasuki tanda tanya akan pembicaraan dengan ibunya tadi. Lebih-lebih kata-kata terakhir sang Ibu. Sedikit membingungkan dan penuh tanda tanya…..Ia hanya mengucap….”Subhanallah”

Ia berusaha untuk tidak memikirkannya lagi. Ia mengucapkan doa sebelum makan dan mulai menyantap sandwich tuna sembari tangan kirinya memencet tombol remote saluran TV yang ada dihadapannya. Begitulah kebiasaannya ketika menikmati makan malam. Ia berganti-ganti saluran acara TV hingga mendapatkan sesuatu yang menarik hatinya. Kali ini ia menemukan acara TV komedi seri ‘Seinfeld’ yang sedang ditayangkan. Untuk beberapa saat ia menontonnya. Dan setelah tayangan itu selesai, ia tersadar bahwa waktu shalat Isya mungkin telah masuk. Ia memastikannya dengan melihat selembar kertas berjudul ‘Schedule of Prayer’ yang ia tempelkan pada dinding diatas meja belajarnya. Selembar jadwal shalat  yang ia peroleh dari Masjid besar Washington DC yang lebih dikenal dengan nama Islamic Center of America.

“Hmmmm…Dua menit lagi”  Gumamnya….Ia bergegas mengambil wudhu dan melaksanakan kewajibannya untuk shalat Isya malam itu.

Malam itu adalah salah satu dari malam terdingin di Washington DC yang sedang memasuki musim dingin. Dengan suhu udara yang lebih dari sepuluh derajat dibawah titik nol, Faisal mengurungkan niatnya untuk melaksanakan sholat Isya di musholla kampusnya. Sebuah musholla yang terletak di lantai tiga gedung pusat kegiataan kemahasiswaan yang berjarak hanya beberapa ratus meter dari studio apartement-nya. Sebuah musholla dibawah binaan perkumpulan mahasiswa muslim (Muslim Student Association) George Washington University. Anggotanya adalah pelajar-pelajar yang berasal dari berbagai negeri yang penduduknya mayoritas beragama Islam.

Sehabis melaksanakan ibadah shalat Isya, Faisal tidak langsung beranjak dari sajadah pemberian Ibunya itu. Ia tetap duduk sembari menghitung butiran-butiran tasbih dalam lantunan dzikirnya di sajadah hijau tua buatan Maroko yang dibeli sang Ibu ketika berumroh beberapa tahun yang lalu. Sang Ibu memberikannya dihari keberangkatan Faisal ke Amerika.

“Bunda ingin engkau memilikinya, Nak…Agar engkau ingat bahwa kita selalu hidup diantara dua waktu shalat. Allah memberi keleluasaan kepada kita untuk melakukan segala aktivitas: Kita bekerja, berusaha, menuntut ilmu, beristirahat dan segala hal yang dapat kita lakukan, tapi ketika waktu shalat telah tiba, tinggalkan hal itu semua untuk menghadap kepada-Nya dengan tulus dan ikhlas.” Perkataan sang Ibu itu begitu terpatri dibenaknya.

Setelah berdoa, ia lanjutkan dengan membaca Al Quran dalam keadaan masih di atas sajadahnya. Suaranya begitu lembut dan fasih dalam membacanya. Tak terasa lebih dari tiga puluh menit hal itu ia lakukan.

ooOOOoo

Beberapa hari telah berlalu. Faisal menerima selembar fax yang dikirim dengan kop surat perusahaan yang bernama Nusantara Commodities di New York. Pesannya berbunyi:

Tara Soewardi telah tiba di New York dari Jakarta. Tara akan berangkat ke Washington DC dengan menumpang kereta AMTRAK Metroliner No 2105. Berangkat dari New York pada hari Kamis 25 Januari 1997 pukul 9.00 pagi . Tiba di Washington DC pada pukul 12.30 siang. Mohon di Jemput di Union Station.

Ketika fax tersebut masuk, Faisal sedang berada di apartemen-nya. Ia sengaja kembali pada siang itu guna beristirahat sebentar sembari menikmati makan siangnya. Dihari-hari kuliahnya seperti ini, ia lebih suka untuk menyiapkan makan siang atau malamnya sendiri. Selain berhemat, ia juga dapat menjaga dirinya dari menyantap sesuatu yang tidak halal.

Sembari memegang piring makannya, ia duduk di dekat jendela dan memperhatikan ranting pepohonan yang kering dan menghitam dihiasi tumpukan salju yang masih bertengger diatasnya. Sebuah keasyikan tersendiri baginya memperhatikan semua itu disela-sela kesibukan kuliahnya.

Nusantara Commodities adalah nama perusahaan yang selalu disebut dengan singkatan NC. Ia adalah anak perusahaan sekaligus menjadi agen pemasaran produk-produk yang dihasilkan oleh BUMN tempat ayah Faisal bekerja. NC memiliki dua kantor cabang diluar negeri. Satu di benua Eropa yang berada di kota Hamburg, Jerman dan satu lagi di benua Amerika yang berada di kota New York. Kantornya menempati sebuah ruangan yang tertata apik di World Trade Center yang megah di distrik Manhattan, New York.

Selepas menyelesaikan makan siangnya, Faisal berusaha menghubungi seseorang  guna memastikan bahwa ia telah menerima fax tersebut. Ia berbicara dengan sekretaris perusahaan NC bernama Taty. Faisal menitipkan salam untuk Tara Soewardi yang sudah berada di New York dan berjanji untuk menjemputnya dalam dua hari ke depan.

“Saya akan memegang selembar kertas yang bertuliskan nama Tara dan menunggunya di ruang kedatangan.” Begitu pesan yang disampaikan Faisal kepada Taty.

“Baik, Mas Faisal. Akan saya sampaikan pada mba Tara.” Jawab Taty.

Selanjutnya Taty mengajak Faisal untuk sekedar mengobrol menanyakan keadaannya dan menyampaikan tentang rencana pertandingan bowling antar keluarga Indonesia di New York yang akan berlangsung bulan depan. Kehadirannya sangat diharapkan untuk memperkuat tim NC. Faisal adalah seorang yang mahir dengan olahraga ini walau hanya sekedar pengisi waktu senggangnya. Beberapa kali ia terlihat berlatih sendiri di student center kampusnya yang memiliki lintasan bowling yang cukup bagus. Tidak jarang pula ia bermain bersama teman-temannya yang berasal dari Indonesia pada akhir pekan. Ia ikut dipercaya menjadi anggota tim NC New York dan selalu hadir saat turnamen berlangsung.

Sesekali Faisal melewatkan akhir pekannya di New York untuk sekedar berkumpul dengan keluarga besar NC. Saat berada di New York, Ia selalu bermalam di salah satu rumah staf perusahaan itu yang masih bujangan bernama Iswadi. Seorang yang kebetulan berasal dari kota kelahirannya. Iswadi bagaikan seorang saudara kandung baginya. Ketika mereka berkumpul, Faisal sering di daulat untuk menjadi imam shalat fardhu dan terkadang diminta untuk memberikan ‘kultum’ di malam-malam bulan Ramadhan.

 

 

 

Bagian 1:   PERJALANAN UNTUK MASA DEPAN

15 Juni 1998 di Bandara Polonia, Medan. Suasana tampak lengang dan bersahabat. Tidak banyak penumpang yang lalu lalang di ruang tunggu yang cukup luas itu. Waktu menunjukkan pukul 17.30 WIB di sore yang cerah. Matahari tampak mulai meredup tanda sebuah senja akan berakhir.

Faisal tiba diantar oleh supir pribadi ayahnya sore itu. Perjalanannya menggunakan  maskapai penerbangan Garuda Indonesia. Seperti biasanya ia hanya tinggal berjalan masuk ke ruang tunggu bandara tanpa harus mengantri untuk mendapatkan nomor tempat duduk ataupun mengurus barang-barangnya untuk dimasukkan ke bagasi pesawat. Semuanya telah diselesaikan oleh seorang pegawai dari kantor ayahnya, urusan protokoler.

Ketika Irman, sang protokoler, menyerahkan berkas perjalanan dan mohon pamit kepadanya, Faisal mengulurkan tangannya untuk berjabatan sembari tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Beberapa kali Irman telah mengurus segala hal menyangkut perjalanannya. Mulai dari tiket pesawat, airport tax sampai urusan porter. Irman adalah orang kepercayaan ayahnya. Walaupun Faisal hanya seorang putera atasannya, tapi Irman selalu memperlakukannya layaknya seperti ayahnya.

Dalam hati kecilnya, Faisal tidak pernah setuju dengan cara kehidupan seperti yang ia jalani saat ini, dimana ia selalu memproleh layanan bagai seorang pejabat. Ia sadar bahwa yang menjadi pejabat itu adalah ayahnya dan bukan dia. Dia hanya seorang pria dewasa yang dapat mengurus dirinya sendiri tanpa perlu layanan protokoler apapun. Ia merasa terkekang dengan aturan yang dibuat oleh orangtuanya sendiri.

Sejak kepulangannya dari Amerika beberapa waktu yang lalu, Faisal selalu mengurus segala hal yang menyangkut dirinya sendiri. Ia leluasa melakukan pemesanan tiket sendiri dan memilih kelas ekonomi. Hal inilah yang biasa ia lakukan ketika masih kuliah di Amerika. Ternyata kebebasan ini tidak berlangsung lama. Ada saja orang yang mengenalinya di bandara dan melaporkannya kepada Ayahnya. Pada akhirnya sang Ayah menegurnya untuk tetap mengikuti protokoler yang telah ditetapkan bagi seorang pejabat publik beserta keluarganya. Urusan tiket dan segala hal yang menyangkut perjalanan adalah urusan protokoler. Termasuk menggunakan kelas bisnis disetiap penerbangan. Ayahnya berargumentasi bahwa semua itu adalah untuk kebaikan dirinya sendiri dan untuk menjaga kehormatan keluarga mereka. Hal yang tak pernah ia dapat mengerti.

Tidak berapa lama kemudian, Faisal telah berada di Executive Lounge, sebuah ruangan yang khusus diperuntukkan bagi para penumpang di kelas bisnis yang terkesan sangat nyaman. Ia memilih duduk di depan sebuah jendela kaca besar yang menghadap ke apron tempat dimana pesawat yang akan menerbangkannya parkir. Ia menggelengkan kepalanya sembari mengucapkan terima kasih ketika seorang pelayan menawarkan kepadanya minuman ringan. Ia beranjak ke rak majalah yang tak jauh dari kursi tempatnya duduk.

Ketika ia baru saja membuka beberapa lembar majalah Newsweek edisi terbaru, pengumuman untuk naik pesawat terdengar dari pengeras suara. Ia bergegas menuju pintu keluar khusus menuju pesawat. Tak lama ia harus menunggu. Sebuah mobil van khusus telah siap mengantarkan para penumpang Business Class ke tangga pesawat. Jumlah mereka tak lebih dari sepuluh orang sore itu. Faisal melangkahkan kakinya untuk naik ke pesawat Airbus 330 Garuda Indonesia yang akan menerbangkannya ke Jakarta. Purser yang merupakan pimpinan dari awak cabin dan seorang pramugari senior menyambutnya ramah di pintu pesawat. Mereka tersenyum ramah dan mengucapkan selamat datang kepadanya. Ia memilih kursi no 4A yang berhadapan langsung dengan jendela dan berharap dalam penerbangan sore ini, tidak akan ada orang yang duduk disampingnya.

Sore itu seorang pramugari yang bernama Anita Wulandari melayaninya sejak ia berada di cabin pesawat. Anita mengantarkannya ke kursi tempat duduknya dan dengan ramah memintanya untuk meletakkan tas tangan bawaannya di tempat penyimpanan barang di atas kepala. Anita berusaha membantunya, Tapi Faisal menolaknya dengan sopan dan berucap, “Terima Kasih” sambil memasukkan tas tangan yang berwarna merah marun itu.

Faisal adalah sosok dengan tinggi 180 cm dengan tubuh yang selalu terjaga. Saat ini usianya 30 tahun. Wajahnya terlihat bersih dan selalu menyenangkan bagi siapapun yang pertama kali bertemu dengannya. Demikian juga perangainya yang selalu menjaga sopan santun dan ramah kepada siapa saja. Ia selalu menjaga kebugarannya dengan berjoging rutin diseputar di komplek perumahan BUMN tempat dimana ayahnya mendapat fasilitas rumah yang sangat besar untuk ukuran keluarga mereka. Walaupun saat ini ia tidak lagi tinggal dengan kedua orangtuanya, ia berkunjung hampir setiap pagi untuk berjoging dan meluangkan waktu sarapan bersama. Sebuah rutinitas yang selalu dilakukannya.

Tak lama setelah Faisal duduk dan memasang sabuk pengamannya, Anita datang kembali membawa ‘welcome drink’ untuknya. Kali ini ia memilih segelas jus Jeruk dan mengucapkan terima kasih ketika menerimanya. Anita tidak mampu menahan rasa ingin tahunya dan bertanya,

“Urusan bisnis atau liburan ke Jakarta, Pak” Tanya Anita.

Faisal tersenyum ramah yang menampakkan lesung pipit yang menjadi kekuatannya selama ini.

“Panggil saya Mas saja. Nama saya Faisal….Saya berniat mengunjungi seseorang.” Jawab Faisal  sembari tersenyum.

“Ooh…Mohon Maaf. Jika Mas Faisal membutuhkan bantuan, mohon menghubungi kami. Nama saya Anita Wulandari.” Jawabnya.

Matahari terlihat tinggal sejumputan diatas ufuk ketika pesawat berbadan lebar itu lepas landas. Sesuai dengan perkiraan Faisal semula, tak ada seorangpun yang duduk disampingnya. Ia merasa lega dan bersyukur dengan  kenyamanan yang ia rasakan saat ini.

Beberapa saat setelah tinggal landas, Faisal melihat ke jendela luar dan mengamati keadaan disekelilingnya. Setiap perjalanannya melintasi kota dan benua, ia sedapat mungkin memilih penerbangan di sore hari menjelang malam agar dapat menyaksikan keindahan segala benda langit dan menjadikan dirinya semakin mengerti betapa besar kekuasaan Illahi bagi sebuah kehidupan yang sedang dijalaninya. Bintang, bulan dengan segala keindahannya itu selalu mampu membangkitkan antusiasme baginya untuk menuangkannya dalam guratan-guratan tulisan di jurnal hariannya. Sering kali sebuah puisi pendek lahir sebagai ungkapan jiwanya.

Ketika langit tampak memerah menandakan matahari akan segera hilang dengan cahayanya, ia bersiap-siap untuk melakukan shalat  jama’-qashar Maghrib dan Isya di kursi tempat duduknya. Ia bertayamum dan menyisir rambutnya. Faisal selalu berusaha mengerjakan shalat fardhu di awal waktu dan terlihat sering meluangkan waktu untuk shalat di Masjid yang berjarak hanya puluhan meter dari tempat tinggalnya. Terkadang ia melewati waktu Maghrib hingga Isya di masjid itu sambil membaca Al Quran dan berdzikir.

Ketika Faisal sedang dalam tahyat akhir shalatnya, Anita dan seorang pramugari lain menghampiri. Mereka meminta izin untuk membuka meja lipat di depan kursinya dan meletakkan taplak putih sebelum menghidangkan makan malam. Anita tersadar bahwa Faisal masih mengerjakan shalat dan dengan spontan berkata,

“Ooh, maaf”

Sesaat kemudian, Faisal menolehkan kepalanya sembari mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri mengakhiri shalat nya, Ia tersenyum kepada Anita dan berkata,

“Silahkan Mba Anita. Mohon maaf tadi saya masih shalat.”

“Terima kasih, Mas. Mohon maaf tadi saya mengganggu kekhusyukan Anda”

“Tidak apa-apa” Jawab Faisal sembari tersenyum.

Sembari menikmati makan malamnya, Faisal kembali memandang ke arah luar jendela, berusaha mencari temaram bulan. Tak sulit hal itu ia dapatkan. Bulan dengan bentuknya yang mendekati purnama terlihat jelas dari jendela kaca itu. Ia terus memperhatikan. Pikirannya melayang jauh menembus batas waktu yang telah lalu. Sosok seseorang kembali hadir dibenaknya. Ia biarkan pikirannya melayang sampai akhirnya ia menyelesaikan makan malamnya. Ia mengambil dari tas tangannya sebuah buku catatan kecil. Sebuah jurnal harian dengan sampul yang tampak lusuh. Ia mulai menggoreskan kata-kata yang ada dalam pikirannya dan larut dengan semua itu.

Waktu makan malam telah usai. Purser meredupkan cahaya lampu di cabin pesawat. Faisal menghidupkan lampu baca yang ada di atas kepalanya. Sebuah suara kembali mengusik dirinya. Ia menoleh ke arah suara itu berasal. Anita menghampirinya dan menawarkan selimut.

Sembari tersenyum Faisal menerimanya dan mengucapkan terima kasih.

Anita kembali bertanya, “Ada yang perlu saya bantu lagi, mas Faisal?”

“Tidak ada, terima kasih.” Jawab Faisal dengan sopan.

Perjalanannya ini adalah sebuah perjalanan masa depan bagi Faisal. Dalam perjalanan ini ia bagai mempertaruhkan segala yang ada pada dirinya. Sebuah keputusan bulat telah dibuatnya. Sebuah keputusan yang amat sulit  dalam tiga puluh satu hari yang telah berlalu…..yang menjadi muara dari segala perjalanan hidup yang pernah ditempuhnya. Merangkai kepingan-kepingan kecil dirinya. Keindahan cinta di negeri perantauan, dendam masa lalu orangtuanya, tragedi kemanusiaan yang sempat menjadi penghalang dan gejolak negerinya yang sedang bertransformasi menuju era ‘Reformasi’ mewarnai hubungan kasihnya. Ia berjuang untuk mendapatkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan seseorang yang dicintainya.

6 responses to “31 HARI

  1. Ulfa Irmayani

    Bagus ……, buat penasaran…., waiting for the continue….

  2. Aldian wibowo

    Sebuah Novel yg cukup eksplisit penggambaraan nuansanyaa pak Fachry, seolah olaaah kitapuuun dibiuss utk masuk kealam yg tergambarkan didalam novel tersebuut.
    Sangat terasa sekali, khususnya di Poin sebuaah Coffee cafe, meeting poin bagi seluruh mahasiswa di University of Berkeley!!!
    What an extraordinary reading pak.
    Wass wr wb

  3. Benny Azwar

    Bagus bangett Pak…. Sampai ke bawa emosi dlm ceritanya sedih , senang dll….. Ditunggu sampai akhir ceritanya….

  4. Sutari A

    Serasa menemukan keasyikan baru…menunggu bagian-bagian selanjutnya (jangan lama-lama ya Pak..). Dan sangat menikmati membaca sambil mengenang kunjungan ke Washington DC, April 1988.. which is sooo beautiful at spring.. Keep the good work pak, sambil beribadah mengajak kaum muda menjalani hidup Islami yang insya Allah menjadi dasar yang baik dalam mengantar pada kebaikan hidup pernikahan.. aamiin. Salam…

    • Aamiin ya Rabb. Alhamdulillah. Mudah2an Novel dakwah ini dapat berkenan selalu. Dan mudah2an kenangan akan DC dapat terus hidup dan menjadi penguat. Insya Allah akan diterbitkan dalam sebuah Novel di akhir tahun ini. Tks mba Sutari

Leave a comment