Kehidupan yang Kecil

images-53

“Allah menyeru ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (QS Yunus [10]: 25-26)

Seorang hamba berdoa:

“Ya Rabb, anugerahkanlah kepadaku sebuah kehidupan yang kecil yang Engkau tebarkan berkah didalamnya dimana ketentraman hati dan kemuliaan hidup menjadi penopangnya.”

“Ya Rabb, tetapkanlah untuk kami sebuah kehidupan yang sederhana dimana Engkau cukupkan kami dengan rezeki yang halal daripada yang haram dan Engkau penuhkan hati kami ini dengan kekayaan karena memiliki Engkau bukan karena harta yang kami miliki.”

“Ya Rabb , tetapkan kami selalu di jalan Engkau yang lurus. Masukkanlah kami ke dalam golongan hamba-hamba Mu yang shaleh dan anugerahkan kepada kami anak keturunan yang shaleh dan jodoh untuk mereka dari golongan yang shaleh pula.”

Dalam sebuah diskusi di ambang malam, sang istri bertanya, “Kenapa harus kehidupan yang ‘kecil’ dan ‘sederhana’. Bukankah setiap orang ingin sukses di dunia ini dengan harta dan kekuasaan yang ia miliki? Setiap manusia memiliki potensi yang besar dalam dirinya, bukankah potensi itu harus kita gali sedalam mungkin agar menjadi kesuksesan dan dengan menjadi orang ‘sukses’ itu pula kemuliaan akan kita raih?”

Hamba itu tersenyum. Bertahun-tahun doa ini selalu terucap dari lisan hamba itu baik di akhir dari shalat fardhu maupun di setiap sujud shalat malam yang begitu panjang untuk dikenang keindahannya. Tidak ada yang lebih bahagia ketika doa ini dilantunkan, airmata menggenang membasahi wajah dalam kerinduan yang amat sangat kepada Rabb-nya.

Hamba itu berkata kepada istrinya, “Dunia ini begitu melelahkan bagiku. Harta yang kita peroleh hanya membawa kebahagiaan sesaat untuk kemudian menjadikan kita susah dibuatnya. Ketika kita memiliki sedikit harta, cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, hal itu cukup sederhana. Tapi ketika kita memiliki lebih, seribu satu keinginan muncul dibenak ini dan setiap keinginan itu ingin segera dipenuhi. Akhirnya kita terbelenggu dengan pikiran yang sempit. Kita menjadikan dunia ini bak lahan ‘Investasi’ yang akan menguntungkan di suatu saat di masa depan. Kita kuras tenaga dan pikiran kita untuk berkonsentrasi menjaga setiap ‘investasi’ yang telah kita tanamkan. Yang secara jujur kita akui, bisa jadi ‘investasi’ ini tidak akan pernah kita nikmati karena hak hidup di dunia ini sudah berakhir sebelum hasil optimal diperoleh dari investasi yang kita tanamkan. Kalaupun anak cucu kita yang kita harapkan untuk menikmatinya, yang ada mereka akan berebut ‘warisan’ investasi kita bagai serigala-serigala lapar yang tidak mementingkan lagi ikatan kekerabatan dan norma pembagian waris sesuai dengan kaidah syariah Islam. Dan yang lebih mengenaskan adalah kesibukan menjaga ‘investasi’ ini membuat kita jauh dari mengingat Allah. Jangankan lisan yang dibasahi oleh dzikir, bangun ditengah malam untuk melepas kerinduan kepada Rabb Yang Maha Berkuasa pun tidak mampu lagi kita lakukan.”

Hamba itu berkata lagi kepada istrinya, “Kekuasaan yang pada awalnya kita peroleh untuk menjadikan kita mulia, pada akhirnya hanya menjadikan kita sibuk untuk mengurusi hal-hal yang tidak penting demi mempertahankan kekuasaan kita. Kita lucuti budi baik teman kita hanya untuk menjadikannya buruk dimata orang lain demi mempertahankan jabatan kita. Tiba-tiba kita menjadi merasa ‘sok penting’ di tengah-tengah kerumunan orang sehingga norma sopan santun yang seharusnya menjadi pengikat dalam bermasyarakat, kita abaikan. Kita tidak lagi peduli akan peraturan yang seharusnya kita patuhi. Lihatlah keadaan kita di jalan raya. Dari satuan terkecil kendaraan sampai yang terbesar, semuanya selalu melanggar peraturan.”

Hamba itu ingat akan sebuah kisah dari sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, Abdurrahman bin Auf, ra. Ketika ia dihidangkan makan siang yang terlihat lezat dan serba ada dari hasil usahanya sendiri oleh pembantunya. Ia menangis melihatnya. Salah seorang puteranya bertanya kepadanya. “Kenapa Engkau menangis wahai Ayah?” Dengan sedih Abdurrahman menjawab, “yang kutakutkan adalah Allah Azza wa Jalla memberi semua kenikmatan yang ada di dunia ini, sedang kelak di akhirat, engkau tidak memperoleh apapun kecuali neraka.”

Hamba itu berkata kepada istrinya lagi, “Biarlah di dunia ini kita memperoleh secukupnya, agar hal itu tidak akan melalaikan kita dari mengingat Allah. Dan kelak di akhirat, Allah memberi balasan bagi kita dengan balasan yang baik. Betapa banyak orang yang tertipu dengan kehidupan dunia ini dan pada akhirnya hanya beroleh kehampaan dan kerugian.”

Rasulullah shalallahu alaihi wassalam pernah menyampaikan, “Perbandingan antara apa yang engkau peroleh di dunia ini dan diakhirat kelak adalah bagai engkau berada di tengah lautan luas. Celupkan jarimu ke dalam lautan tersebut lalu angkatlah. Air yang menempel pada jarimu itulah dunia. Sedang lautan yang luas itu adalah apa yang akan engkau peroleh di akhirat.” (HR At Tirmidzi)

Sebuah perumpaan yang sangat indah dari Nabi shalallahu alaihi wassalam. Air yang menempel di jari jemari kita itu pun akhirnya jatuh kembali tanpa kita dapat menikmati apapun. Sungguh sebuah perumpamaan yang seharusnya dapat membangkitkan semangat kita untuk lebih mementingkan kehidupan akhirat……

Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda, “Pada akhir zaman kelak, ukuran agama manusia dan dunianya adalah Dirham dan Dinar” (HR Thabrani)

Yang fakir kepada ampunan 
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa

Abu Thalal (M. Fachri)

1 Comment

Filed under Akhlak Mulia

One response to “Kehidupan yang Kecil

  1. Gusti Nunun Yusuf

    SubhanAllah. ..syukron ilmunya bang Fachri,bagus sekali..slm hangat utk klg..

Leave a comment